ARTIKEL
TENTANG SUMBER-SUMBER ETIKA
(MENURUT AGAMA, FILSAFAH, YURIDIS)
DEFINISI “ETIKA”
Istilah Etika
berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos
sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu :
tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak,
perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan.
Arti dari bentuk
jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh
Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis
(asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000).
Biasanya bila kita
mengalami kesulitan untuk memahami arti sebuah kata maka kita akan mencari arti
kata tersebut dalam kamus. Tetapi ternyata tidak semua kamus mencantumkan arti
dari sebuah kata secara lengkap. Hal tersebut dapat kita lihat dari
perbandingan yang dilakukan oleh K. Bertens terhadap arti kata ‘etika’ yang
terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama dengan Kamus Bahasa Indonesia
yang baru. Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953 –
mengutip dari Bertens,2000), etika mempunyai arti sebagai : “ilmu pengetahuan
tentang asas-asas akhlak (moral)”. Sedangkan kata ‘etika’ dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 –
mengutip dari Bertens 2000), mempunyai arti :
1. ilmu tentang apa yang baik dan apa yang
buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral
(akhlak);
2. kumpulan asas atau nilai yang berkenaan
dengan akhlak;
3. nilai mengenai benar dan salah yang dianut
suatu golongan atau masyarakat.
Dari perbadingan kedua
kamus tersebut terlihat bahwa dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama hanya
terdapat satu arti saja yaitu etika sebagai ilmu. Sedangkan Kamus Bahasa
Indonesia yang baru memuat beberapa arti. Kalau kita misalnya sedang membaca
sebuah kalimat di berita surat kabar “Dalam dunia bisnis etika merosot terus”
maka kata ‘etika’ di sini bila dikaitkan dengan arti yang terdapat dalam Kamus
Bahasa Indonesia yang lama tersebut tidak cocok karena maksud dari kata ‘etika’
dalam kalimat tersebut bukan etika.
sebagai ilmu
melainkan ‘nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat’. Jadi arti kata ‘etika’ dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama
tidak lengkap.
K. Bertens
berpendapat bahwa arti kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut
dapat lebih dipertajam dan susunan atau urutannya lebih baik dibalik, karena
arti kata ke-3 lebih mendasar daripada arti kata ke-1. Sehingga arti dan
susunannya menjadi seperti berikut :
1. nilai dan norma
moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya.
Misalnya, jika
orang berbicara tentang etika orang Jawa, etika agama Budha, etika Protestan
dan sebagainya, maka yang dimaksudkan etika di sini bukan etika sebagai ilmu
melainkan etika sebagai sistem nilai. Sistem nilai ini bisaberfungsi dalam
hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial.
2. kumpulan asas
atau nilai moral.
Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Contoh
: Kode Etik Jurnalistik
3. ilmu tentang
yang baik atau buruk.
Etika baru menjadi
ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang
dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat dan
sering kali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian
sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral.
Etika adalah bidang kajian filsafat
yang terkait dengan persoalan nilai moral perilaku manusia. Dalam sistematika
filsafat, ia merupakan bagian dari kajian aksiologi, yaitu cabang filsafat yang
berbicara mengenai nilai. Sebagai bagian dari kajian filsafat, etika merupakan
pemikiran filosofis tentang nilai moral, bukan nilai moral itu sendiri. Nilai
moral adalah kualitas perilaku baik dari manusia. Ajaran yang memberi manusia
tentang bagaimana berperilaku dengan kualitas baik adalah moralitas atau dalam
Islam dikenal dengan akhlak.
Maka etika adalah ilmu atau lebih
tepatnya pengetahuan filosofis, dan bukan merupakan ajaran (normatif)
sebagaimana moralitas atau akhlak. Setiap moralitas atau akhlak menghendaki
supaya manusia berperilaku baik sesuai dengan yang diajarkan, sedang etika
menghendaki supaya manusia melakukan tindakan baik itu dengan kesadaran dan
kepahamannya. Sadar dan paham atas apa yang dilakukannya, atas sumber dari
mana “petunjuk” perbuatan itu, atas alasan kenapa perbuatan itu
dilakukannya, dan atas apa konsekuensi perbuatan itu jika benar-benar
dilakukannya.
Terkait dengan ini, maka dapat kita
temukan dua macam kajian etika.
Pertama, adalah
etika deskriptif yaitu etika yang
terlibat analisis kritis tentang sikap dan perilaku manusia dan (nilai) apa
yang ingin dicapai dalam hidup ini. Dengan tanpa terlibat upaya memberikan
“penilaian”, etika ini membicarakan tentang perilaku apa adanya, yaitu perilaku
yang terjadi pada situasi dan realitas konkrit yang membudaya. Apa ukuran baik
dan buruk bagi suatu tindakan, benarkah nilai-nilai itu bersifat absolut
ataukah relatif, berlaku universal ataukah lokal, apa sanksi atau konsekuensi
atas pelanggaran nilai-nilai etika itu.
Kedua adalah
etika normatif. Dengan kajian yang mendalam, etika ini berusaha menetapkan
berbagai sikap dan perilaku ideal yang seharusnya dimiliki dan dijalankan
manusia serta tindakan apa yang seharusnya diambil untuk menggapai sesuatu yang
bernilai dalam hidup ini.
Dari dua macam etika ini, terlihat
bahwa dalam kajiannya, etika selalu terlibat analisis untuk “mengurai” tindakan
yang oleh akhlak disebut “baik” itu, bahkan “mengurai” apa sebenarnya yang
disebut akhlak itu.
Dalam kehidupan sehari-hari, istilah
akhlak terkadang disebut dengan istilah adab. Maka, orang yang
berakhlak, lalu disebut orang yang beradab, sebaliknya orang yang buruk
perilakunya, disebut tidak beradab. Istilah akhlak terkadang juga disebut
dengan sopan santun. Jika ada sekelompok masyarakat yang dapat hidup rukun,
giat bekerja dengan cara-cara yang baik, masyarakat yang demikian ini lalu
disebut dengan masyarakat yang santun atau yang mempunyai sopan santun,
maka ada istilah masyarakat yang santun atau masyarakat yang beradab (civil
society).
Dalam etika, nilai perilaku manusia
dapat dibedakan dari dua sudut pandang. Pertama, perilaku yang dilihat
dari sudut tujuannya. Pembahasan mengenai perilaku demikian, dalam kajian etika
dikenal dengan teleologis. Berasal dari kata telos yang berarti
tujuan. Teleologis adalah paham etika yang menekankan moral pada nilai
intrinsik sebagai konsekuensi suatu perbuatan.
Kedua, perilaku
yang dilihat dari sudut prosesnya, yang dalam kajian etika dikenal deontologis.
Berasal dari kata deon yang berarti proses. Deontologi adalah suatu
paham etika yang menekankan perbuatan moral bukan pada nilai intrinsik dari
konsekuensi perbuatan baik dan bijak karena perbuatan itu sendiri.
Secara sederhana bisa dikatakan, dua
hal inilah yang menjadi ukuran baik-tidaknya akhlak seseorang. Pada yang
pertama, perilaku manusia dikatakan baik jika tujuannya baik atau sebaliknya,
perilaku manusia dapat dikatakan buruk jika tujuannya buruk. Sementara pada
yang kedua, meski tujuannya buruk jika proses perilaku itu baik, maka perilaku
itu tetap dikatakan baik, sebaliknya jika memang prosesnya buruk, meski
tujuannya baik, perilaku akan tetap dikatakan buruk.
Kekacauan dalam melihat dua hal
–tujuan dan proses– ini, mengakibatkan apa yang dimaksud dengan akhlak itu
menjadi kabur. Misalnya: seseorang yang ingin menyantuni anak yatim, membantu
fakir-miskin, atau memberi nafkah keluarga, memberi sumbangan pada masjid atau
madrasah; semua ini jelas merupakan tujuan yang baik. Tetapi jika tujuan baik
ini diwujudkan dengan cara-cara yang salah, seperti: memasang lotre, mencuri,
korupsi, menipu, dan lain sebagainya, tentu semua ini tidak bisa disebut
perbuatan yang baik atau berakhlak.
Ø ETIKA MENURUT AGAMA
Sebagai suatu subyek, etika akan
berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk
menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar,
buruk atau baik. Etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self
control“, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan
kelompok itu sendiri.
Etika disebut juga filsafat moral
merupakan cabang filsafat yang berbicara tentang tindakan manusia. Etika tidak
mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak.
Tindakan manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam norma, diantaranya norma
hukum, norma moral, norma agama dan norma sopan santun. Norma hukum berasal
dari hukum dan perundang-undangan, norma agama berasal dari agama, norma moral
berasal dari suara hati dan norma sopan santun berasal dari kehidupan
sehari-hari.
Etika tidak dapat menggantikan agama. Agama merupakan
hal yang tepat untuk memberikan orientasi moral. Pemeluk agama menemukan
orientasi dasar kehidupan dalam agamanya. Akan tetapi agama itu memerlukan
ketrampilan etika agar dapat memberikan orientasi, bukan sekadar indoktrinasi.
Hal ini disebabkan empat alasan sebagai
berikut:
1. Orang agama
mengharapkan agar ajaran agamanya rasional. Ia tidak puas mendengar bahwa Tuhan
memerintahkan sesuatu, tetapi ia juga ingin mengerti mengapa Tuhan
memerintahkannya. Etika dapat membantu menggali rasionalitas agama.
2. Seringkali ajaran moral yang termuat dalam
wahyu mengizinkan interpretasi yang saling berbeda dan bahkan bertentangan.
3. Karena perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi dan masyarakat maka agama menghadapi masalah moral yang secara
langsung tidak disinggung-singgung dalam wahyu. Misalnya bayi tabung,
reproduksi manusia dengan gen yang sama.
4. Adanya perbedaan antara etika dan ajaran
moral. Etika mendasarkan diri pada argumentasi rasional semata-mata sedangkan
agama pada wahyunya sendiri. Oleh karena itu ajaran agama hanya terbuka pada
mereka yang mengakuinya sedangkan etika terbuka bagi setiap orang dari semua
agama dan pandangan dunia.
KARAKTERISTIK
ETIKA ISLAM
1. Al Qur’an dan Sunnah Sebagai Sumber
Moral
Sebagai sumber moral atau pedoman hidup dalam Islam
yang menjelaskan
kriteria
baik buruknya sesuatu perbuatan adalah Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
Kedua
dasar itulah yang menjadi landasan dan sumber ajaran Islam secara keseluruhan
sebagai
pola hidup dan menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk.
Al Qur’anul karim bukanlah hasil renungan manusia,
melainkan firman Allah
Yang
Maha Pandai dan Maha Bijaksana. Oleh sebab itu setiap Muslim berkeyakinan
bahwa
ajaran kebenaran terkandung di dalam Kitabullah Al Qur’an yang tidak akan dapat
ditantangi
oleh fikiran manusia. (QS. Al-Maidah (5): 15-16.
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءكَُمْ رَسُولُنَا يبَُيِّنُ لَكُمْ كَثِيرًا مِمَّا كُنْتُمْ تُخْفُونَ
مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ قَدْ جَاءكَُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ
Hai
Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan
kepadamu
banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang)
dibiarkannya.
Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab
yang
menerangkan.
Sebagai pedoman kedua sesudah Al Qur’an adalah
Hadits Rasulullah SAW
(Sunnah
Rasul) yang meliputi perkataan dan tingkah laku beliau. Hadits Nabi juga
dipandang
sebagai lampiran penjelasan dari Al Qur’an terutama dalam masalah-masalah
yang
dalam Al Qur’an tersurat pokok-pokonya saja. Al-Hadits sebagai pedoman hidup
dijelaskan
dalam QS. Al-Hasyr (59) : 7,
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى
وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لا
يَكُونَ
دُولَةً
بَيْنَ
الأغْنِيَاءِ
مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَ
نْ
هُ
فَانْتَهُوا
وَاتَّقُوا
اللَّهَ
إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa
saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal
dari
penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak
yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan
hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang
diberikan
Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu
maka
tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat
keras
hukuman-Nya.
QS.
Al-Ahzaab (33) : 21.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ
الآخِرَ وَذكََرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan
dia
banyak menyebut Allah
Jika telah jelas bahwa Al Qur’an dan Sunnah Rasul
adalah pedoman hidup yang
menjadi
azas bagi setiap muslim, maka teranglah keduanya merupakan sumber moral
dalam
Islam. Firman Allah SWT dan Sunnah Nabinya adalah ajaran yang paling mulia
dari
segala ajaran manapun hasil renungan dan ciptaan manusia, sehingga telah
menjadi
keyakinan
(aqidah) Islam bahwa akal dan naluri manusia harus tunduk dan mengikuti
petunjuk
dan pengarahannya. Dari pedoman itulah diketahui kriteria mana perbuatan
yang
baik dan jahat, mana yang halal dan mana yang haram.
2. Kedudukan Akal dan Naluri
Berbeda
dengan teori etika yang memandang bahwa akal dan nalurilah yang
menjadi
dasar menentukan baik buruknya akhlak, maka ajaran etika Islam berpendirian
sebagai
berikut :
a.
Akal dan naluri manusia adalah anugerah Allah
b.
Akal fikiran manusia terbatas sehingga pengetahuan manusiapun tidak akan mampu
memecahkan
seluruh masalah yang maujud ini. (QS. Al-Isra’ (17): 85.
وَلَئِنْ شِئْنَا لَنَذْهَبَنَّ بِالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ ثُمَّ لا
تَجِ
د
لَكَ
بِهِ
عَلَيْنَا
وَكِيلا
Dan
sesungguhnya jika Kami menghendaki, niscaya Kami lenyapkan apa yang
telah
Kami wahyukan kepadamu, dan dengan pelenyapan itu, kamu tidak akan
mendapatkan
seorang pembela pun terhadap Kami,
Karena
itu akal masih memerlukan bimbingan dan cahaya petunjuk dari sumber
kebenaran
yang mutlak lebih utama, yakni wahyu dan kitabullah. Hanya akal yang
dipancari
oleh cahaya Al Qur’an dan petunjuk Rasul akan memperoleh kedudukan
yang
tepat dan akan dapat menemukan kedudukannya yang benar dan tepat.
c.
Naluri manusiapun harus mendapat pengarahan dari petunjuk Allah yang dijelaskan
dalam
kitab-Nya. Jika tidak, naluri itu akan salah penyalurannya. Misalnya naluri
makan,
sexual, berjuang, dan lain-lain, jika diperturutkan begitu saja akan
menimbulkan
kerusakan. Tetapi jika diarahkan menurut petunjuk-Nya, niscaya akan
tetap
berjaklan di atas fitrahnya yang suci.
Demikianlah kedudukan naluri dan akal dalam pandangan
etika islam, bahwa
keduanya
perlu dimanfaatkan dan disalurkan sebaik-baiknya dengan bimbingan dan
pengarahan
yang ditetapkan dalam Al Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.
3. Motivasi Iman
Tindakan
dan pekerjaan manusia selalu didorong oleh suatu motivasi tertentu.
Motivasi
itu bermacam-macam, ada karena kepentingan kekayaan, ingin masyhur
namanya,
dan lain sebagainya. Adapun dalam pandangan Islam maka yang menjadi
pendorong
yang paling dalam dan paling kuat untuk melakukan sesuatu amal perbuatan
yang
baik adalah aqidah, iman yang terpatri dalam hati. Iman itulah yang membuat
seorang
muslim ikhlas, mau bekerja (beramal) keras bahkan rela berkorban. Iman itulah
sebagai
motivasi dan kekuatan penggerak yang paling ampuh dalam pribadinya yang
membuat
dia tidak dapat diam dari melakukan kegiatan kebajikan dan amal shaleh
Jika
“motor iman” itu bergerak, maka keluarlah produksinya berupa amal shaleh
dan
akhlaqul karimah. Dengan demikian hanya dari jiwa yang dihayati iman dapat
diharapkan
memancar kebaikan dan kebajikan yang sebenarnya. Kebaikan yang lahir
tanpa
bersumberkan keimanan adalah kebaikan yang tidak mendapatkan penilaian di sisi
Allah.
Dengan iman itulah, maka seorang mukmin selalu antusias berbuat baik
sebanyakbanyaknya.
Sabda
Rasul : “Sekali-kali tidaklah seoorang mukmin akan merasa kenyang
(puas)
menegrjakan kebaikan, menjelang puncaknya memasuki surga”. (HR. Tirmidzi).
Iman
yang sempurna menjelmakan cinta dan taat kepada Allah SWT.
4. Mata Rantai Akhlak
Dengan motivasi iman, terdoronglah seorang mukmin
mengerjakan kebaikan
sebanyak-banyaknya
menurut kemampuan tenaganya. Dalam memanivestasikan iman
tersebut
terdapat “mata rantai” yang berkaitan dalam realisasinya, yakni : niat
(keikhlasan)
dalam hati, dan pembuktian dengan amal perbuatan yang dilaksanakan oleh
anggota
tubuh.
Sebelum melakukan suatu tindakan, harus didahului
dengan niat untuk apa
pekerjaan
itu dilakukan. Dalam hubungan ini, Islam menggariskan pemantapan niat yang
perbuatan
itu dilakukan semata-mata ikhlas karena Allah SWT. Rasulullah SAW
menggariskan
sebagai berikut : “Hanya sanya amal itu menurut niat, dan hanya sanya
bagi
setiap manusia (akan memperoleh sesuatu) menurut apa yang diniatkannya”.
(Muttafaq
‘Alaih).
Setelah niat itu terpasang baik dalam hati,
bergeraklah anggota tubuh (jasmani)
mengerjakan
kebaikan memprodusir kebajikan sesuai dengan yang diniatkan itu . Dengan
perkataan
lain bahwa hanyalah perbuatan yang disertai niat, yang dapat diterima dan
dipertanggung
jawabkan. Amal tanpa niat tidak mendapatkan penilaian dalam pandangan
etika
Islam.
5. Tujuan Luhur Etika Islam
Sesuai dengan pola hidup yang diajarkan Islam, bahwa
seluruh kegiatan hidup,
harta
kematian sekalipun, semata-mata dipersembahkan kepada Allah. Ucapan yang
selalu
dinyatakan dalam do’a iftitah shalat, merupaka bukti nyata bahwa tujuan yang
tertinggi
dari segala tingkah laku menurut pandangan etika Islam ialah mendapatkan
ridha
Allah SWT (mardlatillah).
Jika seorang muslim mencari rezeki bukanlah sekedar
untuk mengisi perut bagi
diri
dan keluarganya. Pada hahikatnya dia mempunyai tujuan yang lebih tinggi atau
tujuan
filosofis. Dia mencari rezeki untuk memenuhi hajat hidupnya itu barulah tujuan
yang
dekat dan masih ada tujuan yang lebih tinggi lagi. Dia mencari rezeki untuk
mendapatkan
makanan guna membina kesehatan rohani dan jasmani, sedangklan tujuan
membina
kesehatan itu ialah supaya kuat beribadah dan beramal, yang dengan amal
ibadah
itulah dia dapat mencapai tujuan akhir, yakni ridha Allah SWT. Jika dia
belajar,
bukan
hanya sekedar memiliki ilmu. Ilmu itu akan menjadi “jembatan emas” dalam
membina
taqwa dan taqarrub kepada Allah SWT supaya menjadi insan yang diliputi
ridha
illahi. Tegasnya segala niat, gerak-gerik bathin dan tindakan lahir dalam etika
Islam
haruslah
selalu terarah kepada ridha Allah, dan jalan taqwa yang ditempuhnya itulah
jalan
yang lurus (Shiratalmustaqim).
Ridha Allah itulah yang menjadi kunci kebahagiaan
yang kekal dan abadi yang
dijanjikan
Allah dan yang dirindukan oleh setiap manusia beriman. Tanpa ridha Allah
maka
kebahagiaan abadi dan sejati (surga) tidak akan dapat diraih. Panggilan itu
dikemukakan
dalam QS.al-Fajr (89) : 27-30.
يَا أَيَّتُهَا النَّفْ س
الْمُطْمَئِنَّة ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّة فَادْخُلِي فِي
عِبَادِيوَادْخُلِي جَنَّتِي
Hai
jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya.
Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku.
Masuklah
ke dalam syurga-Ku.v
Prof. Dr.
Mohsen Jawadi tampil pertama kali dengan pembahasan peran etika Islam (akhlaq)
dalam kehidupan beragama. Menurut ajaran Islam, manusia diciptakan dengan
tujuan “penghambaan” kepada Tuhan. Dalam kehidupan, manusia melakukan jihad
(perjuangan), terutama jihad melawan diri sendiri. Perjuangan pengendalian diri
inilah yang dinamakan akhlaq.
Etika Islam
tidak hanya terkait dengan pengendalian hawa nafsu belaka, tetapi menaruh
perhatian serius kepada usaha manusia mewujudkan nilai-nilai ketuhanan. Usaha
ini kemudian diterjemahkan menjadi perlawanan terhadap kemiskinan dan
ketidakadilan.
Dr. Fatimah
Husein, pakar disiplin dialog antar agama, membawakan makalah “Revitalisasi
Pemikiran Etika Fazlur Rahman”, seorang pakar studi tafsir Al Qur’an. Bagi
Fazlur Rahman, konsep etika Islam tidak bisa dilepaskan dari persoalan
kepemimpinan, pengetahuan serta implementasi iman dalam bentuk perbuatan aktif.
Dicky Sofjan,
Ph.D. membawakan ‘Nahjul Balaghah’, salah satu literature klasik yang banyak
mengupas etika Islam. Buku ini merupakan kumpulan narasi yang dinisbatkan
kepada Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat dalam sejarah Islam.
Menurut
Dicky, Islam tak bisa melepaskan diri dari diskursus politik sebagaimana
diungkapkan Al Farabi, seorang filsuf Muslim terkemuka, dalam ide madinah
fadhilah (virtuous city) yang dijadikan sebagai wahana implementasi demokrasi.
Untuk kasus Indonesia yang merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di
dunia, politik telah terjebak dalam problematika kompleks seperti: kegagalan
birokrasi, ekonomi serta maraknya praktek korupsi dan kekerasan.
Prof. Dr.
Mohsen Jawadi menekankan bahwa manusia mesti memiliki konsep pengetahuan akan
etika sebelum menyentuh agama. Dengan pemahaman ini, umat Muslim akan memiliki
niat baik sebelum mulai melakukan penafsiran terhadap sumber-sumber hukum Islam
(Al Qur’an dan Al Hadist). [MoU]
Ø ETIKA MENURUT FILSAFAT
Sejarah
Filsafat Etika Yunani
Jejak-jejak
pertama sebuah etika muncul dikalangan murid Pytagoras. Kita tidak tahu banyak
tentang pytagoras. Ia lahir pada tahun 570 SM di Samos di Asia Kecil Barat dan
kemudian pindah ke daerah Yunani di Italia Selatan. Ia meninggal 496 SM. Di
sekitar Pytagoras terbentuk lingkaran murid yang tradisinya diteruskan selama
dua ratus tahun. Menurut mereka prinsip-prinsip matematika merupakan dasar
segala realitas. Mereka penganut ajaran reinkarnasi. Menurut mereka badan
merupakan kubur jiwa (soma-sema,”tubuh-kubur”). Agar jiwa dapat bebas dari
badan, manusia perlu menempuh jalan pembersihan. Dengan bekerja dan bertapa
secara rohani, terutama dengan berfilsafat dan bermatematika, manusia
dibebaskan dari ketertarikan indrawi dan dirohanikan.
Seratus tahun kemudian, Demokritos (460-371 SM) bukan hanya mengajarkan bahwa segala apa dapat dijelaskan dengan gerakan bagian-bagian terkecil yang tak terbagi lagi, yaitu atom-atom. Menurut Demokritos nilai tertinggi adalah apa yang enak. Dengan demikian, anjuran untuk hidup baik berkaitan dengan suatu kerangka pengertian hedonistik.
Seratus tahun kemudian, Demokritos (460-371 SM) bukan hanya mengajarkan bahwa segala apa dapat dijelaskan dengan gerakan bagian-bagian terkecil yang tak terbagi lagi, yaitu atom-atom. Menurut Demokritos nilai tertinggi adalah apa yang enak. Dengan demikian, anjuran untuk hidup baik berkaitan dengan suatu kerangka pengertian hedonistik.
Sokrates
(469-399 SM) tidak meninggalkan tulisan. Ajarannya tidak mudah direkonstruksi
karena bagian terbesar hanya kita ketahui dari tulisan-tulisn Plato. Dalam
dialog-dialog palto hampir selalu Sokrates yang menjadi pembicara utama
sehingga tidak mudah untuk memastikan pandangan aslinya atau pandangan Plato
sendiri. Melalui dialog Sokrates mau membawa manusia kepada paham-paham etis
yang lebih jelas dengan menghadapkannya pada implikasi-implikasi
anggapan-anggapannya sendiri. Dengan demikian, manusia diantar kepada kesadaran
tentang apa yang sebenarnya baik dan bermanfaat. Dari kebiasaan untuk
berpandangan dangkal dan sementara, manusia diantar kepada kebijaksanaan yang sebenarnya.
Plato
(427 SM) tidak menulis tentang etika. Buku etika pertama ditulis oleh
Aristoteles (384 SM). Namun dalam banyak dialog Plato terdapat
uraian-uraian bernada etika. Itulah sebabnya kita dapat merekontruksi
pikiran-pikiran Plato tentang hidup yang baik. Intuisi daar Plato tentang
hidup yang baik itu mempengaruhi filsafat dan juga kerohanian di Barat selama
2000 tahun. Baru pada zaman modern paham tentang keterarahan objektif kepada
Yang Ilahi dalam segala yang ada mulai ditinggalkan dan diganti oleh pelbagai
pola etika; diantaranya etika otonomi kesadaran moral Kant adalah yang paling
penting. Etika Plato tidak hanya berpengaruh di barat, melainkan lewat
Neoplatoisme juga masuk ke dalam kalangan sufi Muslim. Disinilah nantinya
jalur hubungan pemikiran filsafat yunani dengan pemikir muslim seperti Ibn
Miskawaih yang banyak mempelajari filsafat yunani sehingga mempengaruhi
tulisan-tulisannya mengenai filsafat etika.
Setelah
Aristoteles, Epikuros (314-270 SM) adalah tokoh yang berepengaruh dalam
filsafat etika. Ia mendirikan sekolah filsafat di Athena dengan nama
Epikureanisme , akan menjadi salah satu aliran besar filsafat Yunani pasca
Aristoteles. Berbeda dengan Plato dan Aristoteles, berbeda juga dengan Stoa,
Epikuros dan murid-muridnya tidak berminat memikirkan, apalagi masuk ke bidang
politik. Ciri khas filsafat Epikuros adalah penarikan diri dari hidup ramai.
Semboyannya adalah “hidup dalam kesembunyian“.
Etika
Epikurean bersifat privatistik. Yang dicari adalah kebahagiaan pribadi. Epikuros
menasihatkan orang untuk menarik diri dari kehidupan umum, dalam arti ini
adalah individualisme. Namun ajaran Epikuros tidak bersifat egois. Ia mengajar
bahwa sering berbuat baik lebih menyenangkan daripada menerima kebaikan.
Bagi kaum Epikurean, kenikmatan lebih bersifat rohani dan luhur daripada
jasmani. Tidak sembarang keinginan perlu dipenuhi. Ia membedakan antara
keinginan alami yang perlu (makan), keinginan alami yang tidak perlu (seperti
makanan yang enak), dan keinginan sia-sia (seperti kekayaan).
Tokoh-tokoh
filsafat etika masih banyak lagi, dan penulis berkeinginan membahas semuanya
disini, namun karena keterbatasan tempat dan tema yang diangkat maka tokoh yang
disebut diatas penulis anggap sudah cukup mewakili sejarah filsafat etika pada
masa itu. Dan korelasinya dengan intelektual islam pada masa sesudahnya seperti
Ibn Miskawaih yang dalam banyak tulisannya (karya) banyak dipengaruhi dari
pemikiran tokoh filsafat yunani.
Dan
meskipun para ahli memberikan makna kebahasaan yang cukup beragam terhadap kata
etika itu, namun makna-makna itu pada umumnya tetap berada pada lingkaran di
seputar perbuatan-perbuatan kategori akhlaki seperti: kebiasaan, tingkah laku,
kesusilaan dan semisalnya. Sementara itu pengertian kata moral, yang secara
etimologis berasal dari bahasa Latin mos dan jamaknya adalah mores berarti
kebiasaan dan adat. Dalam bahasa Indonesia, kata Suwito, pada umumnya
kata moral diidentikkan dengan kata etika.
Adapun secara istilah, pengertian etika tampak berbeda dengan moral, dan juga dengan akhlak. Sebagai disampaikan oleh Komaruddin Hidayat, etika adalah suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Sejalan dengan pengertian ini, Suwito menegaskan bahwa etika baru menjadi sebuah ilmu bila kemungkinan-kmungkinan etis telah menjadi refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini, lanjut Suwito, identik dengan filsafat moral. Bersama estetika, etika merupakan cabang filsafat yang menjadi bagian dari wilayah nilai, sehingga etika didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mengkaji secara rasional, kritis, reflektif, dan radikal persoalan moralitas manusia. Jadi etika membicarakan perilaku manusia (kebiasaan) ditinjau dari baik-buruk, atau teori tentang perbuatan manusia ditinjau dari nilai baik-buruknya. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa etika merupakan bidang garapan filsafat, dengan moralitas sebagai objek meterialnya. Jadi, studi kritis terhadap moralitas itulah yang merupakan wilayah etika. Bila dirujukkan dengan penjelasan Pudjowijatno, bila moralitas sebagai objek materialnya, maka tindakan manusia yang dilakukannya dengan sengaja adalah objek formal dari etika, dan perilaku sengaja inilah yang biasa pula dinamakan dengan tindakan akhlaki atau perilaku etis. Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan hidup yang baik. Sementara moral lebih beraakenaan dengan tingkah laku yang kongkrit, berbeda dengan etika yang bekerja pada level teori.
Atas dasar pengertian tersebut dapat ditarik garis batas dan garis hubungan etika dengan moral di satu pihak dan dengan akhlak pada pihak lain. Moral merupakan aturan-aturan normatif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertntu yang terbatas oleh ruang dan waktu, yang penetapan tata nilai itu di masyarakat menjadi wilayah garapan antropologi. Dengan demikian moral lebih dekat dengan akhlak, meski tidak sepenuhnya, ketimbang dengan etika.
Adapun secara istilah, pengertian etika tampak berbeda dengan moral, dan juga dengan akhlak. Sebagai disampaikan oleh Komaruddin Hidayat, etika adalah suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Sejalan dengan pengertian ini, Suwito menegaskan bahwa etika baru menjadi sebuah ilmu bila kemungkinan-kmungkinan etis telah menjadi refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini, lanjut Suwito, identik dengan filsafat moral. Bersama estetika, etika merupakan cabang filsafat yang menjadi bagian dari wilayah nilai, sehingga etika didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mengkaji secara rasional, kritis, reflektif, dan radikal persoalan moralitas manusia. Jadi etika membicarakan perilaku manusia (kebiasaan) ditinjau dari baik-buruk, atau teori tentang perbuatan manusia ditinjau dari nilai baik-buruknya. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa etika merupakan bidang garapan filsafat, dengan moralitas sebagai objek meterialnya. Jadi, studi kritis terhadap moralitas itulah yang merupakan wilayah etika. Bila dirujukkan dengan penjelasan Pudjowijatno, bila moralitas sebagai objek materialnya, maka tindakan manusia yang dilakukannya dengan sengaja adalah objek formal dari etika, dan perilaku sengaja inilah yang biasa pula dinamakan dengan tindakan akhlaki atau perilaku etis. Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan hidup yang baik. Sementara moral lebih beraakenaan dengan tingkah laku yang kongkrit, berbeda dengan etika yang bekerja pada level teori.
Atas dasar pengertian tersebut dapat ditarik garis batas dan garis hubungan etika dengan moral di satu pihak dan dengan akhlak pada pihak lain. Moral merupakan aturan-aturan normatif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertntu yang terbatas oleh ruang dan waktu, yang penetapan tata nilai itu di masyarakat menjadi wilayah garapan antropologi. Dengan demikian moral lebih dekat dengan akhlak, meski tidak sepenuhnya, ketimbang dengan etika.
Meski
demikian mesti dikatakan bahwa karakteristika akhlak adalah bersifat agamis,
dan ini tidak ada pada moral. Oleh karena itu akhlak lebih merupakan sebagai
suatu paket atau barang jadi yang bersifat normatif-mengikat, yang harus
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim, tanpa mempertanyakan
secara kritis, sehingga akhlak bisa disebut dengan moralitas islami. Studi
kritis terhadap moralitas itulah wilayah etika, sehingga moral tidak lain
adalah objek kajian daripada etika. Dengan demikian kalau dibandingkan
dengan penjelasan mengenai akhlak di atas, kiranya dapat diketahui bahwa etika
lebih menunjuk pada ilmu akhlak, sedangkan moral lebih merupakan perbuatan
konkrit realisasi dari kekuatan jiwa.
Meski
demikian harus tetap dikatakan bahwa dari segi sumbernya keduanya berbeda.
Etika bersumber dari pemikiran manusia terutama filsafat Yunani, sedangkan ilu
akhlak, meski juga merupakan hasil pemikiran, tetapi ia bersimber dari wahyu
yakni al-Qur’an dan al-Hadis. Dengan kata lain, meski sejumlah penulis muslim
sering menggunakan istilah etika dalam mengungkapkan perkataan ilmu akhlak,
namun sama sekali tidak berarti bahwa sumber pokok keduanya sama. Barangkali
kalau ada beberapa ahli yang tidak membedakan dua istilah itu, sangat boleh
jadi karena mereka melihat betapa pengembangan ilmu akhlak masa sekarang banyak
ditunjang oleh analisis filsafat. Dengan demikian—dalam batas tertentu—dapat
dikatakan bahwa ilmu akhlak bersumber pokok pada wahyu, hanya pengebangannya
dilakukan dengan menggunakan filsafat sebagai sarananya; sedangkan etika
semata-mata bersumber dari filsafat, tidak terkait dengan wahyu.
Selanjutnya
adalah menyengkut perbedaan akhlak dengan moral. Meski keduanya sama-sama
menunjuk pada perbuatan, namun bila dilihat dari objeknya, dua istilah itu
tidak identik; sifat akhlak adalah teorsentris, karena segala perbuatan yang
ditunjuk oleh istilah akhlak dilihat dalam kontksnya dengan Tuhan, baik
perbuatan dalam hubungannya dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia.
Sementara moral hanya menunjuk pada perbuatan dengan sesama manusia, tidak menunjuk
pada yang dengan Tuhan, karenanya bersifat antroposentris, dan tujuannya hanya
sebatas untuk kepentingan manusia. Dengan kaata lain, objek akhlak lebih
kompleks karena mencakup akhlak terhadap Tuhan dan akhlak terhadap manusia, dan
keduanya bersifat teorsentris; sementara moral hanya menyangkut perbuatan
terhadap sesama manusia, dan hanya dilihat untuk tujuan antroposentris.
Filsafat Etika Ibn Miskawayh
Nama
lengkap Ibnu Miskawayh adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Yaqub ibn
Miskawayh. Ia lahir di kota Ray (Iran) pada 320 H (932) M) dan wafat di Asfahan
9 Safar 421 H (16 Februari 1030 M). Ibnu Miskawayh mendapat gelar guru
ketiga setelah al-Farabi. Ia belajar sejarah dan filsafat, serta pernah
menjadi khazin (pustakawan) Ibn al-‘Abid dimana dia dapat menuntut ilmu dan
memperoleh banyak hal positif berkat pergaulannya dengan kaum elit. Setelah itu
Ibnu Miskawayh meninggalkan Ray menuju Bagdad dan mengabdi kepada istana
Pangeran Buwaihi sebagai bendaharawan dan beberapa jabatan lain. Akhir hidupnya
banyak dicurahkannya untuk studi dan menulis.
Ibnu
Miskawayh lebih dikenal sebagai filsuf akhlak (etika) walaupun perhatiannya
luas meliputi ilmu-ilmu yang lain seperti kedokteran, bahasa, sastra, biologi
dengan teori evolusinya dan sejarah. Bahkan dalam literatur filsafat
Islam, tampaknya hanya Ibnu Miskawayh inilah satu-satunya tokoh filsafat
akhlak.
Ibnu
Miskawayh meninggalkan banyak karya penting, misalnya tahdzibul akhlaq
(kesempurnaan akhlak), tartib as-sa’adah (tentang akhlak dan politik), al-siyar
(tentang tingkah laku kehidupan), dan jawidan khirad (koleksi ungkapan bijak).
Seperti ilmuwan lainnya pada era abad ke-4 H dan ke-5 H (abad ke-10 M dan ke-11 M) Ibnu Miskawayh merupakan orang yang memiliki wawasan luas dalam bidang filosofi, berdasarkan pada pendekatannya terhadap filsafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Seperti ilmuwan lainnya pada era abad ke-4 H dan ke-5 H (abad ke-10 M dan ke-11 M) Ibnu Miskawayh merupakan orang yang memiliki wawasan luas dalam bidang filosofi, berdasarkan pada pendekatannya terhadap filsafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Walaupun
filosofi yang diterapkannya khusus untuk masalah-masalah Islam, ia jarang
menggunakan agama untuk mengubah filosofi, dan selanjutnya dikenal sebagai
seorang humanis Islam. Dia menunjukkan kecenderungan dalam filsafat Islam untuk
menyesuaikan Islam kedalam sistem praktik rasional yang lebih luas umum bagi
semua manusia.
Neoplatonism Ibnu Miskawayh memiliki dua sisi yakni praktik dan teori. Dia memberikan peraturan untuk kelestarian kesehatan moral berdasarkan pandangan budidaya karakter. Ini menjelaskan cara di mana berbagai bagian jiwa dapat dibawa bersama ke dalam harmoni, sehingga mencapai kebahagiaan.
Neoplatonism Ibnu Miskawayh memiliki dua sisi yakni praktik dan teori. Dia memberikan peraturan untuk kelestarian kesehatan moral berdasarkan pandangan budidaya karakter. Ini menjelaskan cara di mana berbagai bagian jiwa dapat dibawa bersama ke dalam harmoni, sehingga mencapai kebahagiaan.
Ini
adalah peran filsuf moral untuk menetapkan aturan untuk kesehatan moral,
seperti dokter menetapkan aturan untuk kesehatan fisik. Kesehatan moral
didasarkan pada kombinasi pengembangan intelektual dan tindakan praktis.
Ibnu
Miskawayh menggunakan metode eklektik dalam menyusun filsafatnya, yaitu dengan
memadukan berbagai pemikiran-pemikiran sebelumnya dari Plato, Aristoteles,
Plotinus, dan doktrin Islam. Namun karena inilah mungkin yang membuat
filsafatnya kurang orisinal. Dalam bidang-bidang berikut ini tampak bahwa Ibnu
Miskawayh hanya mengambil dari pemikiran-pemikiran yang sudah dikembangkan
sebelumnya oleh filsuf lain.
Ibnu Miskawayh menulis dalam berbagai topik yang luas, berkisar sejarah psikologi dan kimia, tapi dalam filsafat metafisikanya tampaknya secara umum telah diinformasikan oleh versi Neoplatonism. Dia menghindari masalah merekonsiliasi agama dengan filsafat dengan klaim dari filsuf Yunani yang tidak menayangkan fokus kesatuan dan keberadaan Allah.
Menurut Ibnu Miskawaih, Tuhan merupakan zat yang tidak berjisim, azali, dan pencipta. Tuhan adalah esa dalam segala aspek, tidak terbagi-bagi dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya. Tuhan ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak tergantung pada yang lain, sedangkan yang lain membutuhkannya. Tuhan dapat dikenal dengan proposisi negatif karena memakai proposisi positif berarti menyamakan-Nya dengan alam.
Ibnu Miskawayh menulis dalam berbagai topik yang luas, berkisar sejarah psikologi dan kimia, tapi dalam filsafat metafisikanya tampaknya secara umum telah diinformasikan oleh versi Neoplatonism. Dia menghindari masalah merekonsiliasi agama dengan filsafat dengan klaim dari filsuf Yunani yang tidak menayangkan fokus kesatuan dan keberadaan Allah.
Menurut Ibnu Miskawaih, Tuhan merupakan zat yang tidak berjisim, azali, dan pencipta. Tuhan adalah esa dalam segala aspek, tidak terbagi-bagi dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya. Tuhan ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak tergantung pada yang lain, sedangkan yang lain membutuhkannya. Tuhan dapat dikenal dengan proposisi negatif karena memakai proposisi positif berarti menyamakan-Nya dengan alam.
Ibnu
Miskawayh menganut paham Neo-Platonisme tentang penciptaan alam oleh Tuhan.
Ibnu Miskawayh menjelaskan bahwa entitas pertama yang memancar dari Tuhan
adalah ‘aql fa’al (akal aktif). Akal aktif ini bersifat kekal, sempurna, dan
tidak berubah. Dari akal ini timbul jiwa dan dengan perantaraan jiwa timbul
planet (al-falak). Pancaran yang terus-menerus dari Tuhan dapat memelihara
tatanan di alam ini, menghasilkan materi-materi baru. Sekiranya pancaran Tuhan
yang dimaksud berhenti, maka berakhirlah kehidupan dunia ini.
Kitab
Taharat al-A’raq merupakan karya yang paling tinggi dan menunjukkan fakta-fakta
kompleksitas yang konseptual sekali. Dalam karyanya itu, ia menetapkan untuk
menunjukkan bagaimana kita dapat mungkin memperoleh watak yang baik untuk
melakukan tindakan yang benar dan terorganisir serta sistematis.
Menurut
Ibnu Miskawayh, jiwa adalah abadi dan substansi bebas yang mengendalikan
tubuh. Itu intisari berlawanan pada tubuh, sehingga tidak mati karena terlibat
dalam satu gerakan lingkaran dan gerakan abadi, direplikasi oleh organisasi
dari surga. Gerakan ini berlangsung dua arah, baik menuju alasan ke atas dan
akal yang aktif atau terhadap masalah kebawah. Kebahagiaan kami timbul melalui
gerakan keatas, kemalangan kami melalui gerakan dalam arah berlawanan.
Pembahasan
Ibnu Miskawayh tentang kebaikan dengan menggabungkan ide Aristoteles dengan
Platonic. Menurut dia, kebaikan merupakan penyempurnaan dari aspek jiwa (yakni,
alasan manusia) yang merupakan inti dari kemanusiaan dan membedakan dari bentuk
keberadaan rendah.
Bapak
Etika Islam
Ibnu
Miskawayh dikenal sebagai bapak etika Islam. Ia telah telah merumuskan
dasar-dasar etika di dalam kitabnya Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq (pendidikan
budi dan pembersihan akhlaq). Sementara itu sumber filsafat etika ibnu
Miskawayh berasal dari filsafat Yunani, peradaban Persia, ajaran Syariat Islam,
dan pengalaman pribadi.
Menurut Ibnu Miskawayh, akhlak merupakan bentuk jamak dari khuluq yang berarti peri keadaan jiwa yang mengajak seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa difikirkan dan diperhitungkan sebelumnya. Sehingga dapat dijadikan fitrah manusia maupun hasil dari latihan-latihan yang telah dilakukan, hingga menjadi sifat diri yang dapat melahirkan khuluq yang baik.
Menurut Ibnu Miskawayh, akhlak merupakan bentuk jamak dari khuluq yang berarti peri keadaan jiwa yang mengajak seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa difikirkan dan diperhitungkan sebelumnya. Sehingga dapat dijadikan fitrah manusia maupun hasil dari latihan-latihan yang telah dilakukan, hingga menjadi sifat diri yang dapat melahirkan khuluq yang baik.
Kata
dia, ada kalanya manusia mengalami perubahan khuluq sehingga dibutuhkan
aturan-aturan syariat, nasihat, dan ajaran-ajaran tradisi terkait sopan santun.
Ibnu Maskawayh memperhatikan pula proses pendidikan akhlaq pada anak. Dalam
pandangannya, kejiwaan anak-anak seperti mata rantai dari jiwa kebinatangan dan
jiwa manusia yang berakal.
Menurut dia, jiwa anak-anak itu menghilangkan jiwa binatang tersebut dan memunculkan jiwa kemanusiaannnya. ”Jiwa manusia pada anak-anak mengalami proses perkembangan. Sementara itu syarat utama kehidupan anak-anak adalah syarat kejiawaan dan syarat sosial,”
Menurut dia, jiwa anak-anak itu menghilangkan jiwa binatang tersebut dan memunculkan jiwa kemanusiaannnya. ”Jiwa manusia pada anak-anak mengalami proses perkembangan. Sementara itu syarat utama kehidupan anak-anak adalah syarat kejiawaan dan syarat sosial,”
ungkap
Ibnu Miskawayh.
Sementara
nilai-nilai keutamaan yang harus menjadi perhatian ialah pada aspek jasmani dan
rohani. Ia pun mengharuskan keutamaan pergaulan anak-anak pada sesamanya
mestilah ditanamkan sifat kejujuran, qonaah, pemurah, suka mengalah,
mngutamakan kepentingan orang lain, rasa wajib taat, menghormati kedua orang tua,
serta sikap positif lainnya.
Ibnu
Maskawaih membedakan antara al-Khair (kebaikan), dan as-sa’adah (kebahagiaan).
Beliau mengambil alih konsep kebaikan mutlak dari Aristoteles, yang akan
mengantarkan manusia pada kebahagiaan sejati. Menurutnya kebahagiaan tertinggi
adalah kebijaksanaan yang menghimpun dua aspek; aspek teoritis yang bersumber
pada selalu berfikir pada hakekat wujud dan aspek praktis yang berupa keutamaan
jiwa yang melahirkan perbuatan baik. Dalam menempuh perjalananannya meraih
kebahagiaan tertinggi tersebut manusia hendaklah selalu berpegangan pada
nilai-nilai syariat, sebagai petunjuk jalan mereka.
Ia
berpendapat jiwa manusia terdiri atas tiga tingkatan, yakni nafsu
kebinatangan, nafsu binatang buas, dan jiwa yang cerdas. ”Setiap manusia
memiliki potensi asal yang baik dan tidak akan berubah menjadi jahat, begitu
pula manusia yang memiliki potensi asal jahat sama sekali tidak akan cenderung
kepada kebajikan, adapun mereka yang yang bukan berasal dari keduanya maka
golongan ini dapat beralih pada kebajikan atau kejahatan, tergantung dengan
pola pendidikan, pengajaran dan pergaulan.
Filsafat Etika Al-Ghazali
Al-Ghazâlî
adalah salah satu tokoh yang paling terkenal yang hidup pada tahun 450-505 H.
bertepatan dengan 1058-1111 M. Lebih-lebih lagi di kalangan mereka yang
mempelajari kitab-kitab yang ditulisnya seperti Ihyâ`u `Ulûm al-Dîn, Minhaj
al-`Âbidîn, Bidâyat al-Hidâyah dan lain lain lagi. Nama lengkapnya ialah
Muhamad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Ghazâlî al-Tûsî. Beliau lebih
dikenal dengan panggilan al-Ghazâlî yaitu nisbah kepada kampung tempat
kelahirannya yaitu Ghazalah yg terletak di pinggir bandar Tusi di dalam wilayah
Khurasan, Parsi (Iran). Dengan itu al-Ghazâlî berarti orang Ghazalah,
kemungkinan juga panggilan tersebut dinisbahkan kepada bapanya seorang tukang
tenun kain bulu yang dalam bahasa arabnya dikatakan al-ghazzâl. Al-Ghazâlî juga
digelar Abû Hamîd, dinisbahkan kepada anaknya. Beliau juga digelar hujjat
al-islâm yaitu suatu gelaran penghormatan yang diberikan kepadanya kerana
kejituan dan kecerdasannya di dalam membela agama Islam.
Ia
dikenal sebagai seorang ulama, filsuf, dokter, psikolog, ahli hukum, dan sufi
yang sangat berpengaruh di dunia Islam.
Selain
itu, berbagai pemikiran Algazel--demikian dunia Barat menjulukinya--juga banyak
mempengaruhi para pemikir dan filsuf Barat pada abad pertengahan.
Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali sungguh fenomenal. ''Tak diragukan lagi bahwa
buah pikir Al-Ghazali begitu menarik perhatian para sarjana di Eropa,'' tutur
Margaret Smith dalam bukunya yang berjudul Al-Ghazali: The Mystic yang
diterbitkan di London, Inggris, tahun 1944. Salah seorang pemikir Kristen
terkemuka yang sangat terpengaruh dengan buah pemikiran Al-Ghazali, kata Smith,
adalah ST Thomas Aquinas (1225 M-1274 M). Aquinas merupakan filsuf yang kerap
dibangga-banggakan peradaban Barat. Ia telah mengakui kehebatan Al-Ghazali dan
merasa telah berutang budi kepada tokoh Muslim legendaris itu.
Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali sangat mempengaruhi cara berpikir Aquinas yang
menimba ilmu di Universitas Naples. Saat itu, kebudayaan dan
literatur-literatur Islam begitu mendominasi dunia pendidikan Barat.
Perbedaan
terbesar pemikiran Al-Ghazali dengan karya-karya Aquinas dalam teologi Kristen,
terletak pada metode dan keyakinan. Secara tegas, Al-Ghazali menolak segala
bentuk pemikiran filsuf metafisik non-Islam, seperti Aristoteles yang tidak
dilandasi dengan keyakinan akan Tuhan. Sedangkan, Aquinas mengakomodasi buah
pikir filsuf Yunani, Latin, dan Islam dalam karya-karya filsafatnya.
Al-Ghazali
dikenal sebagai seorang filsuf Muslim yang secara tegas menolak segala bentuk
pemikiran filsafat metafisik yang berbau Yunani. Dalam bukunya berjudul The
Incoherence of Philosophers, Al-Ghazali mencoba meluruskan filsafat Islam dari
pengaruh Yunani menjadi filsafat Islam, yang didasarkan pada sebab-akibat yang
ditentukan Tuhan atau perantaraan malaikat. Upaya membersihkan filasat Islam
dari pengaruh para pemikir Yunani yang dilakukan Al-Ghazali itu dikenal sebagai
teori occasionalism.
Sosok
Al-Ghazali sangat sulit untuk dipisahkan dari filsafat. Baginya, filsafat yang
dilontarkan pendahulunya, Al-Farabi dan Ibnu Sina, bukanlah sebuah objek kritik
yang mudah, melainkan komponen penting buat pembelajaran dirinya.
Filsafat
dipelajari Al-Ghazali secara serius saat dia tinggal di Baghdad. Sederet buku
filsafat pun telah ditulisnya. Salah satu buku filsafat yang disusunnya, antara
lain, Maqasid al-Falasifa (The Intentions of the Philosophers). Lalu, ia juga
menulis buku filsafat yang sangat termasyhur, yakni Tahafut al-Falasifa (The
Incoherence of the Philosophers).
Al-Ghazali merupakan tokoh yang memainkan peranan penting dalam memadukan sufisme dengan syariah. Konsep-konsep sufisme begitu baik dikawinkan sang pemikir legendaris ini dengan hukum-hukum syariah. Ia juga tercatat sebagai sufi pertama yang menyajikan deskripsi sufisme formal dalam karya-karyanya. Al-Ghazali juga dikenal sebagai ulama Suni yang kerap mengkritik aliran lainnya. Ia tertarik dengan sufisme sejak berusia masih belia.
Salah satu tokoh Asy’ariyah yang banyak mengembangkan teori etika di dunia Islam adalah al-Ghazali. Beliau menghubungkan wahyu dengan tindakan moral. Al-Ghazali menyarankan kepada kita untuk memandang kebahagiaan sebagai pemberian anugerah Tuhan. Al-Ghazali menganggap keutamaan-keutamaan dengan pertolongan Tuhan adalah sebuah keniscayaan dalam keutamaan jiwa. Jadi, dengan menerapkan istilah keutamaan kepada pertolongan Tuhan, Al-Ghazali bermaksud menghubungkan keutamaan dengan Tuhan. Tidak ada keutamaan lain yang dapat dicapai tanpa pertolongan Tuhan. Bahkan, al-Ghazali menegaskan bahwa tanpa pertolongan Tuhan, usaha manusia sendiri dalam mencari keutamaan sia-sia, dan dapat membawa kepada sesuatu yang salah dan dosa.
Al-Ghazali merupakan tokoh yang memainkan peranan penting dalam memadukan sufisme dengan syariah. Konsep-konsep sufisme begitu baik dikawinkan sang pemikir legendaris ini dengan hukum-hukum syariah. Ia juga tercatat sebagai sufi pertama yang menyajikan deskripsi sufisme formal dalam karya-karyanya. Al-Ghazali juga dikenal sebagai ulama Suni yang kerap mengkritik aliran lainnya. Ia tertarik dengan sufisme sejak berusia masih belia.
Salah satu tokoh Asy’ariyah yang banyak mengembangkan teori etika di dunia Islam adalah al-Ghazali. Beliau menghubungkan wahyu dengan tindakan moral. Al-Ghazali menyarankan kepada kita untuk memandang kebahagiaan sebagai pemberian anugerah Tuhan. Al-Ghazali menganggap keutamaan-keutamaan dengan pertolongan Tuhan adalah sebuah keniscayaan dalam keutamaan jiwa. Jadi, dengan menerapkan istilah keutamaan kepada pertolongan Tuhan, Al-Ghazali bermaksud menghubungkan keutamaan dengan Tuhan. Tidak ada keutamaan lain yang dapat dicapai tanpa pertolongan Tuhan. Bahkan, al-Ghazali menegaskan bahwa tanpa pertolongan Tuhan, usaha manusia sendiri dalam mencari keutamaan sia-sia, dan dapat membawa kepada sesuatu yang salah dan dosa.
Rupanya,
al-Ghazali ingin menyamakan pengertian etika atau moralitas sama halnya dalam
teologi Islam. Menurut Amin Abdullah, al-Ghazali jatuh pada “reduksionisme
teologis”. Artinya, al-Ghazali menempatkan wahyu al-Qur’an menjadi petunjuk
utama --atau bahkan satu-satunya-- dalam tindakan etis, dan dengan keras
menghindari intervensi rasio dalam merumuskan prinsip-prinsip dasar universal
tentang petunjuk ajaran al-Qur’an bagi kehidupan manusia. Titik perbedaan
antara filsafat etika al-Ghazali dan Kant terletak pada penggunaan
rasionalitas. Al-Ghazali menyusun teori etika mistik, sedang Kant membangun
sistem etika rasional yang teliti untuk menggantikan doktrin
metafisika-dogmatik-spekulatif.
Menurut al-Ghazâlî akhlak adalah keadaan batin yang menjadi sumber lahirnya suatu perbuatan di mana perbuatan itu lahir secara spontan, mudah, tanpa menghitung untung rugi.
Menurut al-Ghazâlî akhlak adalah keadaan batin yang menjadi sumber lahirnya suatu perbuatan di mana perbuatan itu lahir secara spontan, mudah, tanpa menghitung untung rugi.
Orang
yang berakhlak baik, ketika menjumpai orang lain yang perlu ditolong maka ia
secara spontan menolongnya tanpa sempat memikirkan resiko. Demikian juga orang
yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka.
Etika atau akhlak menurut pandangan al-Ghazali bukanlah pengetahuan (ma’rifah) tentang baik dan jahat atau kemauan (qudrah) untuk baik dan buruk, bukan pula pengamalan (fi’il) yang baik dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap. Al-Ghazali berpendapat sama dengan Ibn Miskawaih bahwa penyelidikan etika harus dimulai dengan pengetahuan tentang jiwa, kekuatan-kekuatan dan sifat-sifatnya. Tentang klasifikasi jiwa manusia pun al-Ghazali membaginya ke dalam tiga; daya nafsu, daya berani, dan daya berfikir, sama dengan Ibn Miskawaih.
Etika atau akhlak menurut pandangan al-Ghazali bukanlah pengetahuan (ma’rifah) tentang baik dan jahat atau kemauan (qudrah) untuk baik dan buruk, bukan pula pengamalan (fi’il) yang baik dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap. Al-Ghazali berpendapat sama dengan Ibn Miskawaih bahwa penyelidikan etika harus dimulai dengan pengetahuan tentang jiwa, kekuatan-kekuatan dan sifat-sifatnya. Tentang klasifikasi jiwa manusia pun al-Ghazali membaginya ke dalam tiga; daya nafsu, daya berani, dan daya berfikir, sama dengan Ibn Miskawaih.
Menurut
al-Ghazali watak manusia pada dasarnya ada dalam keadaan seimbang dan yang
memperburuk itu adalah lingkungan dan pendidikan. Kebaikan-kebaikan dan
keburukan-keburukan itu tercantum dalam syariah dan pengetahuan akhlak. Tentang
teori Jalan Tengah Ibn Miskawaih, al-Ghazali menyamakannya dengan konsep Jalan
Lurus (al-Shirât al-Mustaqîm) yang disebut dalam al-Qur’an dan dinyatakan lebih
halus dari pada sehelai rambut dan lebih tajam dari pada mata pisau. Untuk mencapai
ini manusia harus memohon petunjuk Allah karena tanpa petunjuk-Nya tak seorang
pun yang mampu melawan keburukan dan kejahatan dalam hidup ini. Kesempurnaan
jalan tengan dapat di raih melalui penggabungan akal dan wahyu.
Al-Ghazali,
untuk pertama kalinya, menghancurkan otoritas Aristoteles dan pada saat yang
sama menabur bibit-bibit filsafat mekanika, fondasi rnetafisika un¬tuk sains
modern. Maka kontribusinya itu tidak hanya destruktif, tetapi juga
kons¬truktif. Alih-alih menghambat perkembang¬an sains, al-Ghazãli adalah
seorang agen dalam memfasilitasi kemajuan yang lebih jauh. Sebagai seorang
individu, ia telah mencapai untuk pertama kalinya antara tahun 1094 dan 1108
hal-hal yang sama seperti apa dicapai orang-orang Eropa selama lima abad, yaitu
dan akhir abad ke- 12 hingga abad ke- 17. Dengan demiki¬an, ia
mensimbolisasikan individualisme, suatu pemikiran yang bernilai pada zaman
Renaissance, dalam cara yang paling baik, dan alih-alih mengikuti otoritas
filsafat, ia menyerang dan menghancurkan ide-ide bid’ah Aristoteles dan
Aristotelianisme dalam tiga tahun, yaitu dan tahun 1092 hingga 1095.
Dia
telah menunjukkan anomali¬-anomali pada Aristotelianisme dalam pan¬dangan
teologi Islam, membentangkan dasar-dasar metafisika Descartes, men¬dukung
kepercayaan atomistik dengan mengemasnya dalam kemasan teologis jauh sebelum
Pierre Gassendi meng-Kris¬ten-kan atomisme, dan menolak keharu¬san kausalitas,
yang dengan demikian mendahului David Hume. Tentu saja, de¬ngan
pernyataan-pernyataan ini saya tidak mengklaim adanya suatu pengaruh lang¬sung,
tetapi mencoba menemukan paralelisme yang rapat yang ada antara Islam dan
Barat. Perlu dicatat bahwa al-Ghazali berbicara dan tinjauan teologi Islam
sementara para pemikir yang dise¬but di atas, jika mereka pernah mengam¬bil
manfaat dan ide-ide al-Ghazãli, meng¬ambil ide-ide itu tanpa melihat
kontek¬snya dan menggunakan ide-ide tersebut untuk tujuan mereka.
Pandangan-pan¬dangan
Aristoteles, seperti yang dikem¬bangkan oleh al-Fãrãbi dan lbn Sinã, itu
sebe¬tulnya dekat dengan pandangan para penulis Islam. Seluruh kesalahan mereka
dapat dirangkum dalam dua puluh poin, tiga diantaranya mereka harus dianggap
kafir dan tujuh belasnya sebagai bid’ah. Al-Ghazali menyusun Tahafut
al-Falasifa (Kerancuan para Filosof) adalah untuk menunjukkan ke¬salahan
pandangan-pandangan mereka dalam dua puluh poin itu. Tiga poin yang membuat
mereka berbeda dan semua umat Islam adalah seperti berikut:
(a)
Mereka mengatakan bahwa tidak ada kebangkitan kembali bagi tubuh; han¬ya roh
yang diberi pahala atau disiksa, dan pahala dan siksa itu pun bersifat
spiritual, tidak badani. Mere¬ka betul-betul berbicara benar dalam menegaskan
yang bersifat spiritual, karena memang hal itupun terjadi; tetapi mereka
berbicara salah dalam menolak yang bersifat badani dan dalam pernyataan mereka
itu tidak niengimani wahyu Tuhan.
(b)
Mereka mengatakan bahwa Tuhan mengetahui universalia tetapi tidak rriengetahui
partikularia. ini juga jelas¬jelas tidak beriman. Yang benar ada¬lah bahwa
‘tidak ada yang tersembunyi daripada-Nya yang ada di langit dan yang ada di
bumi’ walau seberat atom pun’ (Qs. 34, 3).
(c)
Mereka mengatakan bahwa dunia itu kekal, tanpa awal. Tetapi tidak ada umat
Islam yang mengadopsi pandan¬gan demikian dalam persoalan ini.
Filsafat
Etika Antara Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî
Abad
kesepuluh masehi menjadi periode gemilang dalam perkembangan peradaban Islam.
Pada masa itu, para intelektual Muslim telah sampai pada puncak kematangan
pemikiran dan berbagai ide. Bahkan beragam ide yang berasal dari tradisi intelektual
di luar Islam, khususnya filsafat Yunani.
Apalagi
kala itu, pada saat Dinasti Abasid berkuasa, gencar melakukan translasi atau
penerjemahaan karya-karya dari berbagai bidang ilmu ke dalam bahasa Arab. Tak
ayal jika banyak Dâr al-`Ilm (semacam perpustakaan umum) didirikan. Bukan hanya
di pusat pemerintahan, Baghdad, tetapi juga di Kairo, Kordoba, dan di belahan
dunia Islam lainnya.
Tak hanya perpustakaan umum yang tumbuh bak cendawan di musim hujan, perpustakaan pribadi juga banyak bermunculan. Mudahnya akses ke berbagai pengetahuan ini tak heran membuat banyak kalangan yang membuat majelis kajian untuk berdiskusi mengenai hal ihwal agama, filsafat maupun bidang lainnya.
Tak hanya perpustakaan umum yang tumbuh bak cendawan di musim hujan, perpustakaan pribadi juga banyak bermunculan. Mudahnya akses ke berbagai pengetahuan ini tak heran membuat banyak kalangan yang membuat majelis kajian untuk berdiskusi mengenai hal ihwal agama, filsafat maupun bidang lainnya.
Pada
masa seperti inilah kemudian muncul seorang intelektual Muslim terkemuka dalam
bidang etika yaitu Ibn Miskawayh yang masa hidupnya dia habiskan di tanah
kelahirannya.
Kemudian
Ibn Miskawayh meninggalkan kota kelahirannya menuju Baghdad, Irak. Ia bekerja
sebagai pustakawan di perpustakaan umum pada masa pemerintah dinasti Abbasiyyah.
Ia bekerja di sana hingga beberapa kali pergantian kekuasaan terjadi.
Perpustakaan bagi dirinya merupakan sekolah yang membuatnya mampu berinteraksi
dengan berbagai ilmu pengetahuan.
Ia
secara tekun dan serius melakukan kajian di bidang filsafat, sejarah dan
kedokteran, bahkan kimia. Di antara kajian yang menjadi perhatian utamanya
adalah filsafat Yunani dan sejarah. Kedua kajian inilah di kemudian hari
mengantarnya menjadi intelektual yang mengagumkan dalam kedua bidang tersebut.
Seperti
ilmuwan yang hidup di zamannya, Ibn Misakawayh mempelajari filsafat dan sejarah
sebagai alat untuk menemukan kebanaran. Namun, ia lebih memberi tekanan kepada
kajian filsafat terutama filsafat etika. Ia merumuskan langkah bagaimana
membangun moral yang sehat serta menguraikan cara-cara membangun jiwa yang
harmonis.
Di
kemudian hari ia lebih dikenal sebagai seorang Islam humanis. Pasalnya ia
memiliki kecenderungan agar Islam dapat masuk ke dalam sistem praktik rasional
yang lebih luas pada semua ranah kemanusiaan. Dengan kajian filsafat Yunani ia
kemudian terpengaruh oleh pemikiran Neoplatonisme baik pada sisi teori maupun
praktik. Label humanis bagi Ibn Miskawayh juga disematkan oleh kalangan pemikir
Muslim, misalnya, Mohamed Arkoun pada 1969 menyematkan label terhadap dirinya
sebagai seorang humanis. Namun hal ini dilihat dalam sudut pandang tradisi
intelektual Islam, bukan dalam tradisi intelektual humanisme Eropa.
Dalam
kajian filsafat etika, Ibn Miskawayh menelurkan karya monumental yaitu Tahdzîb
al-Akhlâq (pembinaan akhlak). Dalam kitab yang terdiri atas tujuh bagian ini,
secara umum ia membicarakan bagaimana seseorang dapat mencapai kebahagiaan
tertinggi melalui moral yang sehat.
Hal
ini menggambarkan bagaimana berbagai bagian jiwa diharmonikan untuk mencapai
kebahagiaan. Ini adalah peran filsuf moral atau etika memberikan resep bagi
kesehatan moral yang berpijak pada kombinasi pengembangan intelektual dan
praktik keseharian.
Pada
bagian awal dalam kitabnya, ia membicarakan tentang jiwa dan sifat-sifatnya.
Seseorang akan mampu menggapai kebahagiaan hidup jika ia mampu menciptakan
kebahagiaan moral dengan memenuhi sifat-sifat jiwa. Di antaranya adalah
kedahagaan jiwa terhadap asupan ilmu. Selain itu, kendati jiwa mendapat banyak
prinsip ilmu pengetahuan melalui indera, tetapi jiwa ini sendiri mempunyai
prinsip lain serta tingkah laku yang lain pula, yang sama sekali bukan dari
indera. Maka, kalau jiwa menilai bahwa antara dua ekstrim dari satu kontradiksi
tak ada titik tengah, keputusan ini tidak diperolehnya melalui sesuatu yang
lain. Karena, itu merupakan prinsip pertama dan tak akan demikian jika berasal
dari sesuatu yang lain.
Ibn
Miskwayh memandang bahwa ilmu akan menuntun manusia untuk tak hanya bergantung
kepada hal yang bersifat materi. Selanjutnya akan membuat manusia memiliki
kebijaksanaan dalam meniti hidup yang akhirnya menjadikannya sebagai manusia
yang sempurna. Itulah salah satu sifat yang dimiliki oleh jiwa.
Dalam
penjelasan berikutnya, ia menguraikan tentang jenis kebahagiaan dan sifat-sifat
yang dimilikinya. Dalam pandangannnya, setiap manusia mampu mencapai setiap
jenis kebahagiaan dengan cara memenuhi sifat-sifat kebahagiaan itu. Ada dua hal
yang dapat mempengaruhi manusia dalam mencapai kebahagiaan itu, yaitu kondisi eskternal
dan internal dirinya.
Kondisi
internal yang mempengaruhi pemikiran dan arah moral seseorang adalah kesehatan
tubuh dan bagaimana kemampuan dirinya mengendalikan temperamen. Sedangkan
kondisi eskternal adalah keadaan yang terkait dengan hubungan dirinya dengan
orang lain serta lingkungan di sekitarnya. Di dalamnya termasuk, teman
sepergaulan, anak-anaknya dan kesejahteraan dirinya. Kedua kondisi inilah yang
kemudian memperkaya jiwanya dalam mencapai kebahagiaan dirinya.
Sedangkan
menurut al-Ghazâlî akhlak adalah keadaan batin yang menjadi sumber lahirnya
suatu perbuatan di mana perbuatan itu lahir secara spontan, mudah, tanpa
menghitung untung rugi. Orang yang berakhlak baik, ketika menjumpai orang lain
yang perlu ditolong maka ia secara spontan menolongnya tanpa sempat memikirkan
resiko. Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan melakukan
kejahatan begitu peluang terbuka. Selain itu, berdasarkan pandangan teologis,
dia menolak gagasan kausalitas dalam tindakan etis. Dia tidak dapat membenarkan
hubungan kausal antara sanksi dan pahala karena tidak bersifat rasional. Dari
pemahaman dasar ini, dia menyatakan bahwa kebaikan dan kejahatan hanya dapat
diketahui melalui wahyu dan menolak bahwa perintah-perintah Tuhan dalam al-Qur`ân
memiliki tujuantertentu.
Akhlak
seseorang, di samping bermodal pembawaan sejak lahir, juga dibentuk oleh
lingkungan dan perjalanan hidupnya. Nilai-nilai akhlak Islam yang universal
bersumber dari wahyu, disebut al-khayr, sementara nilai akhlak regional
bersumber dari budaya setempat, di sebut al-ma`rûf, atau sesuatu yang secara
umum diketahui masyarakat sebagai kebaikan dan kepatutan.
Sedangkan
akhlak yang bersifat lahir disebut adab, tatakrama, sopan santun atau etika
orang yang berakhlak baik secara spontan melakukan kebaikan, Demikian juga
orang yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang
terbuka.. Akhlak universal berlaku untuk seluruh manusia sepanjang zaman. Tetapi,
sesuai dengan keragaman manusia, juga dikenal ada akhlak yang spesifik,
misalnya akhlak anak kepada orang tua dan sebaliknya, akhlak murid kepada guru
dan sebaliknya, akhlak pemimpin kepada yang dipimpin dan sebagainya.
Seseorang
dapat menjadi pemimpin (al-imâm) dari orang banyak manakala ia memiliki (a)
kelebihan dibanding yang lain, yang oleh karena itu ia bisa memberi (b)
memiliki keberanian dalam memutuskan sesuatu, dan (c) memiliki kejelian dalam
memandang masalah sehingga ia bisa bertindak arif bijaksana. Secara sosial
seorang pemimpin adalah penguasa, karena ia memiliki otoritas dalam memutuskan
sesuatu yang mengikat orang banyak yang dipimpinnya.
Akan
tetapi menurut etika keagamaan, seorang pemimpin pada hakekatnya adalah pelayan
dari orang banyak yang dipimpinnya (sayyid al-qawmi khâdimuhum). Pemimpin yang
akhlaknya rendah pada umumnya lebih menekankan dirinya sebagai penguasa,
sementara pemimpin yang berakhlak baik lebih menekankan dirinya sebagai pelayan
masyarakatnya.
Dampak
dari keputusan seorang pemimpin akan sangat besar implikasinya pada rakyat yang
dipimpin. Jika keputusannya tepat maka kebaikan akan merata kepada rakyatnya,
tetapi jika keliru maka rakyat banyak akan menanggung derita karenanya. Oleh
karena itu pemimpin yang baik disebut oleh Nabi dengan sebutan pemimpin yang
adil (imâmun `âdil) sementara pemimpin yang buruk digambarkan al-Qur`ân, dan
juga al-Hadîst, sebagai pemimpin yang zalim (imâmun zhâlim). Adil artinya
menempatkan sesuatu pada tempatnya, sedangkan sebaliknya zalim artinya menempatkansesuatutidakpada-tempatnya.
Kisah
dalam al-Qur`ân yang menyebut Nabi (Raja) Sulaiman yang memperhatikan suara
semut mengandung pelajaran bahwa betapa pun seseorang menjadi pemimpin besar
dari negeri besar, tetapi ia tidak boleh melupakan kepada rakyat kecil yang
dimisalkan semut itu (Q/27:16). Meneladani kepemimpinan Rasulullah, akhlak
utama yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah keteladanan yang baik
(uswatun hasanah), terutama dalam kehidupan pribadinya, seperti; hidup bersih,
sederhana dan mengutamakan orang lain.Ini merupakan sebuah alasan yang
menyatakan bahwa al-Ghazâlî dianggap sebagai seorang filsuf walaupun dia tidak
suka disebut sebagai seorang filsuf.
Ø ETIKA MENURUT YURIDIS
Hukum dalam
pengertian peraturan perundang-undangan, maka tidak memberikan ruang secara
eksplisit terhadap etika. Ruang eksplisit yang dimaksud adalah bunyi teks atau
pasal-pasal yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Apakah dengan
demikian etika tidak terdapat dalam peraturan perundang-undangan? Etika adalah
norma. Etika dapat menjadi asas yang mendasari pengaturan dalam bahasa teks
peraturan. Artinya etika sudah membaur atau dibaurkan dalam bunyi teks
peraturan. Pembauran menempatkan etika menjadi ‘nyawa’ dari pasal per pasal
yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
Dari
perspektif demikian etika adalah meta yuridis. Etika bukan peraturan
perundang-undangan, tetapi menjadi dasar dari bahasa teks peraturan
perundang-undang. Peraturan perundang-undangan menjadi aktualisasi yuridis dari
etika yang menjadi pedoman berperilaku. Aktualisasi yuridis atau positivisasi
etika menjadi kaidah berperilaku yang berwatak yuridis. Tanpa positivisasi
etika yang semula hanya norma perilaku, etika tidak akan dapat ditegakkan
dengan menggunakan sanksi hukum.
Etika yang
bertransformasi menjadi kaidah hukum baru merupakan hukum dalam peraturan
perundang-undangan. Transformasi melalui positivisasi meletakkan etika menjadi
hukum. Tetapi tidak berarti etika an
sich merupakan hukum. Etika menjadi hukum (baca: peraturan
perundang-undangan) ketika ditempatkan dalam bunyi pasal atau menginspirasi
pembentukan pasal tersebut. Kemudian pertanyaan yang diajukan adalah apakah
etika sama dengan hukum?
Etika tidak
selalu sama dengan hukum. Etika bisa tetap sebagai etika ketika etika tidak
mengalami positivisasi untuk menjadi teks peraturan perundang-undangan. Etika
mengalami transformasi menjadi peraturan perundang-undangan, apabila pembentuk
undang-undang (DPR dan hakim) menempatkan etika menjadi bunyi teks atau dimuat
dalam putusan hakim. Dalam hal ini positivisasi etika dapat dilakukan menjadi
dua, yaitu melalui proses legislasi di legislative dan eksekutif dan melalui
pembentukan hukum oleh hakim.
Pembentukan
hukum oleh hakim dilakukan melalui penemuan hukum dengan mempertimbangkan
faktor non yuridis dalam menerapkan hukum. Faktor non yuridis ini tersebar pada
norma berperilaku di masyarakat yang teraktualisasi dalam kode etik, best practice, adat istiadat
atau konvensi. Kemudian oleh hakim, faktor non yuridis mengalami positivisasi
yang menjadi bagian dari pertimbangan hukum hakim (legal reasoning) dalam mengadili kasus tertentu.
Pertimbangan hukum inilah yang mengantarkan hakim dalam membuat suatu putusan
dan menjadikan faktor non yuridis menjadi hukum.
Dengan
demikian bahwa pernyataan etika adalah hukum, perlu meninjau kembali sudut
pandang yang digunakan. Sudut pandang dipengaruhi oleh pemahaman atas
pengertian hukum yang terdiri dari hukum tertulis dan tidak tertulis. Apabila
memaknai hukum hanya sebagai hukum yang tertulis yaitu peraturan
perundang-undangan maka etika bukanlah hukum. Etika dapat menjadi hukum harus
dilakukan dengan mempositivisasi etika tersebut dalam peraturan
perundang-undangan.
Namun dengan
menggunakan pengertian hukum yang luas, dengan menempatkan hukum tidak hanya
peraturan perundang-undangan maka etika dapat dikategorikan menjadi hukum.
Etika adalah hukum yang tidak tertulis. ‘Tidak tertulis’ disini tidak
dimaksudkan bahwa ruang lingkup etika tidak harus tidak tertulis, karena etika
seperti kode etik (code of conduct)
adalah tertulis. ‘Tidak tertulis’ maksudnya adalah bukan bagian dari peraturan
perundang-undangan.
Ø IMPLEMENTASI
KEHIDUPAN AGAMA, FILSAFAT, YURIDIS,
Etika tidak mempersoalkan keadaan
manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak. Tindakan
manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam norma, diantaranya norma hukum,
norma moral, norma agama dan norma sopan santun. Norma hukum berasal dari hukum
dan perundang-undangan, norma agama berasal dari agama, norma moral berasal
dari suara hati dan norma sopan santun berasal dari kehidupan sehari-hari.
Etika bukan sumber tambahan
moralitas melainkan merupakan filsafat yang mereflesikan ajaran moral. Etika
tidak dapat menggantikan agama. Agama merupakan hal yang tepat untuk memberikan
orientasi moral. Pemeluk agama menemukan orientasi dasar kehidupan dalam
agamanya. Akan tetapi agama itu memerlukan ketrampilan etika agar dapat
memberikan orientasi, bukan sekadar indoktrinasi.
Dalam hubungan beragama ada istilah
tri hita karana,
Hubungan ketiga unsur tri hita
karana yang dimaksud adalah hubungan manusia dengan Tuhan Sang Pencipta,
hubungan antara manusia dengan manusia, dan hubungan antara manusia dengan
lingkungan.dalam terminalogi masyarakat HINDU diwujudkan dalam 3 unsur, yaitu :
parahyangan, pawongan, dan palemahan.
- Parhyangan berasal dari kata”hyang” yang berarti
Tuhan. Parhyangan berarti ketuhanan atau hal-hal yang berkaitan dengan
keagamaan (baca : agama hindu) dalam rangka memuja Hyang Widhi. Hyang
Widhi adalah Maha Pencipta (Prima Causa). Beliau adalah sumber dari pada
segala yang ada. Beliaulah mengadakan alam semesta ini beserta isinya.
Beliau adalah asal dan tujuan akhir dari kehidupan.
- Palemahan berasal dari kata” lemah” yang berarti
tanah. Palemahan juga berarti bhuwana atau alam dan dalam artian yang
sempit palemahan berarti wilayah suatu pemukiman atau tempat tinggal.
- Pawongan berasal dari kata”wong”(dalam bahasa
jawa ) yang berarti orang. Pawongan berarti prihal yang berkaitan dengan
orang-orang atau keorangan dalam suatu kehidupan masyarakat (community).
Hubungan Tri Hita Karana dengan
Etika Agama
Dalam kehidupan sehari-hari maupun
kehidupan beragama Tri Hita Karana memiliki peranan penting dalam pembelajaran
Etika Agama itu. Nilai-nilai dan ajaran dalam Tri Hita Karana dapat dijadikan
dasar atau pedoman dalam melaksanakan Etika Agama itu sendiri.
Dalam menimplementasikan konsep Tri
Hita Karana haruslah secara utuh tidak ada yang paling istimewa dari ketiganya,
dia senantiasa seimbang dalam pemikiran, seimbang dalam ucapan dan seimbang
pula dalam segala tindakan. Sebagai konsep keharmonisan, Tri Hita Karana telah
memberikan apresiasi yang luar biasa dari berbagai masyarakat dunia. Unsur
parahyangan dalam menjaga keharmonisan dengan Ida Sang Hyang Widhi diwujudkan dalam
berbagai bentuk aktivitas yadnya sebagai persembahan yang tulus kepada Sang
Pencipta. Mulai dari pembangunan tempat suci, pelaksanaan upacara keagamaan,
pendalaman ajaran agama, kreativitas berkesenian (tari, tabuh, lukis, pahat,
dsb.) untuk kepentingan ritual. Dalam ranah pawongan, masyarakat Hindu dengan
konsep manyamabraya, paras-paros sarpanaya, salunglung sabayantaka, dan Tat
Twam Asi yang mendasarinya semakin mempertegas eksistensi masyarakat Hindu yang
ramah-tamah. Lebihlebih lagi sesuai ajaran Hindu yang sangat yakin terhadap
Hukum Karma Phala membuat kita semakin aman, damai, dan tenteram. Selanjutnya
dalam tataran palemahan, perhatian masyarakat Hindu terhadap lingkungannya
sudah tidak dapat diragukan lagi. Dalam agama hindu ada namanya hari raya
Tumpek Pengarah untuk tumbuh-tumbuhan, Tumpek Kandang untuk segala macam
ternak, Tumpek Landep untuk segala macam perabotan (senjata) sebagai
sarana-prasarana mencari kehidupan, Nyepi untuk keharmonisan jagat raya, dan
lain sebagainya.
Peranan Tri Hita Karana kaitannya dengan Etika Agama :
- Parhyangan diwujudkan dalam bentuk aktivitas
keagamaan dalam rangka memuja dan berbakti kepada Hyang Widhi. Terutama
sekali adalah sarana tempat memuja adalah sanggah/merajan, pura.
- Palemahan yang diwujudkan dalam bentuk wilayah
atau teritorial meliputi : tempat tinggal, sawah, tegal, pasar, sekolah,
instansi, tempat bekerja. Bhuwana Agung ciptaan Sang Hyang Widhi yang
sangat berguna bagi kehidupan manusia.
- Pawongan diwujudkan dalam bentuk manusia,
keluarga, masyarakat, dan warga. Terutama sesama manusia melalui suatu
hubungan komunikasi yang harmonis misalnya :
- Saling memberi dan menerima
- Saling menghargai dan menghormati
- Saling asah asih asuh
- Saling maaf memaafkan
- Dan lain-lain, siap pengamalan konsep pawongan
Jadi, peranana Tri Hita Karana dalam Penerapan Etika Agama dalam kehidupan
sehari-hari sangatlah penting agar terciptanya kehidupan yang harmonis,
selaras dan seimbang untuk kita umat beragama, sesama manusia dan seluruh
alam semesta.
- Hubungan Etika dengan Hati Nurani
Hati nurani merupakan suara hati
manusia yang paling dalam. Setiap manusia memiliki hati nurani. Dengan adanya
hal tersebut maka dapat melandasi setiap tindakan konkrit pada manusia. Hati
nurani juga mempengaruhi kesadaran manusia. Kesadaran manusia mampu menilai
bagaimana hati nurani berperan di masa lalu dan di masa depan. Bagaimana
perlakuan manusia pada masa lampau atau masa depan. Apakah baik ataukah buruk.
Dalam sifat diri manusia bisa dibagi menjadi dua yaitu
ego dan hati nurani. Hati nurani juga bisa menjadi relfleksi dari kehidupan
manusia. Yang dimaksud refleksi disini adalah apakah manusia tersebut memakai
hati nuraninya atau tidak. Manusia yang memakai hati nurani dalam kehidupannya
akan merasa tentram dan tidak akan ada rasa dikejar-kejar oleh perasaan takut
bersalah, tidak bisa, takut mendominasi, atau tidak ingin terlibat dengan kata
lain hanya mementingkan diri sendiri. Ego merupakan sikap mementingkan diri
sendiri tersebut. Mereka hanya menginginkan keuntungan dan kepentingan pribadinya
terpenuhi dibandingkan dengan keuntungan dan kepentingan sesama. Mereka terbawa
dengan arus ego mereka. Orang yang telah terbawa arus ego mereka akan bertindak
karena terpaksa dan merasa dikejar-kejar oleh perasaan takut apabila bekerja
untuk kepentingan bersama.
Etika mempelajari kita agar dapat bertindak sesuai
dengan norma-norma yang dapat diterima oleh masyarakat. Dengan adanya hati
nurani akan membuat seseorang bertindak sesuai kaidah atau norma etika.
2.
Hubungan Etika dengan Kebebasan Bertanggung Jawab
“lempar batu sembunyi tangan.”
Itulah peribahasa yang sering didengar. Peribahasa
tersebut menggambarkan seseorang yang bertindak namun melepas tugasnya atau
tanggung jawabnya untuk menyelesaikan suatu masalah.
Kebebasan itu sangat diperlukan karena dapat membuat
orang merasa lebih hidup, senang, dapat berbuat sesuai dengan apa yang mereka
inginkan, bebas berekspresi, dan lepas. Namun kebebasan tersebut harus diikuti
dengan tanggung jawab dalam prakteknya. Dengan adanya kebebasan yang
bertanggung jawab lingkungan baik di kelurga, sekolah, universitas, masyarakat,
pemerintah, bangsa dan Negara menjadi aman dan tertib.
3.
Hubungan Etika dengan Nilai dan Norma
Nilai adalah suatu yang memiliki
arti atau harga. Sedangkan norma adalah peraturan dasar yang mengatur kehidupan
masyarakat. Nilai dan Norma sangat penting untuk membentuk suatu etika. Dengan
adanya nilai dan norma yang merupakan kelanjutan dari suatu budaya ini dapat
membuat lingkungan yang menganut nilai dan norma tersebut bertindak sesuai
dengan apa yang telah diatur. Dengan kata lain dapat bertindak sesuai etika
yang berlaku dalam lingkungan masyarakat.
Dalam kaitannya antara etika dengan
nilai dan norma, sangat berdasar pada dua sifat mendasar yaitu sifat positif
dan sifat negatif. Orang yang cenderung bersikap positif akan mendapatkan
esensi-esensi atau nilai yang bermanfaat dari apa yang telah ia jalani.
Sedangkan orang yang cenderung bersigfat negative akan mendapatkan
sanksi-sanksi dari norma yang telah dibuat.
4.
Hubungan Etika dengan Hak dan Kewajiban
Hak adalah segala sesuatu yang harus
kita dapat dan miliki. Sedangkan kewajiban adalah segala sesuatu yang harus
dijalankan. Dalam kehidupan, haruslah menuntut adanya keseimbangan antara hak
dan kewajiban. Dengan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban maka akan
tercipta suatu timbal balik yang baik dan tidak berat sebelah antara pihak yang
menuntut haknya dengan pihak yang menuntut kewajibannya.
Pentingnya Etika dalam Kehidupan
Sehari-hari dan Kehidupan Ilmiah
Ada beberapa alas an mengapa etika
masih dibutuhkan di saat ini. pertama, pandangan-pandangan moral yang beraneka
ragam yang berasal dari berbagai suku, kelompok, daerah, dan agama yang berbeda
dan yang hidup berdampingan dalam suatu masyarakat dan Negara. Kedua,
modernisasi dan kemajuan teknologi membawa perubahan besar dalam struktur
masyarakat yang akibatnya dapat bertentangan dengan pandangan-pandangan moral
tradisional. Ketiga, munculnya berbagai ideology yang menawarkan diri sebagai
penuntun kehidupan manusia dengan masing-masing ajarannya tentang kehidupan
manusia.
Analisa UAN dikaitkan dengan Etika
UAN dikaitkan dengan etika sangat
berkaitan dengan tingkah laku dari orang-orang yang terlibat di dalam kegiatan
UAN. orang-orang yang terlibat di dalam UAN seperti pemerintah, panitia pembuat
soal UAN, distributor soal UAN, guru, “tim sukses”, dan peserta UAN (siswa).
Dalam pelaksanaan sering kali
melanggar etika-etika, ketentuan-ketentuan, dan peraturan-peraturan yang ada
dalam UAN tersebut. Misalnya, terdapat tindakan-tindakan pelanggaran terhadap
peraturan pelaksanaan UAN itu sendiri. Telah ditemukan sebanyak 37 kasus
kecurangan dalam pelaksanaan UAN1).
Pemerintah dalam menjalankan Ujian
Akhir Nasional terkesan memberikan uji coba kepada para pelaku pendidikan.
Dalam pelaksanaannya, pemerintah selalu menaikkan standar nilai kelulusan UAN.
Dengan standar UAN yang selalu meninggi tiap tahunnya akan memberikan
reaksi-reaksi oleh masyarakat. Pemerintah memiliki kewajiban untuk bersikap
terbuka kepada masyarakat. Namun, pada pelaksanaanya, masyarakat hanya menerima
apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui undang-undang walaupun
masyarakat telah mengaspirasikan opini mereka kepada masyarakat. Kebijakan
pemerintah terhadap publik terkesan tergesa-gesa, reaktif, dan tidak transparan
dalam penetapan Undang-undang.
Terhadap pembuat soal UAN, mengapa
soal-soal UAN harus dibedakan. Tujuan utama dari pembuatan soal UAN menjadi 2
yaitu soal A dan soal B memang dapat meminimalisir tindakan kecurangan seperti
menyontek dalam kelas. Namun, apakah kalian semua sadar bahwa dengan adanya
pembedaan soal UAN maka secara tidak langsung UAN belum menghargai keragaman.
Indonesia memiliki keragaman yang sangat banyak. Keragaman itu bukan hanya
dalam hal budaya, bahasa, dan SARA tetapi juga dari mutu pendidikan dari suatu
daerah. Seharusnya, apabila pemerintah membuat soal-soal yang berbeda, mereka
harus memperhatikan keragaman tersebut. Mereka seharusnya bisa membuat standar
soal untuk daerah yang berbeda-beda.
Antara distributor soal UAN, tim
sukses, guru, dan siswa sangat memiliki keterkaitan dalam pelaksanaan UAN. UAN
merupakan dokumen negara yang sangat rahasia. Dalam pendistribusiannya ke
sekolah-sekolah, seringkali ada pendistribusian yang sampai pada pihak yang
salah. Terdapat distributor UAN yang mengirim soal-soal ke tangan tim sukses.
Tim sukses sendiri berusaha menjawab soal-soal tersebut. Setelah tim sukses
telah berhasil menjawab soal-soal UAN maka jawaban soal-soal tersebut
dikirimkan ke pihak-pihak yang memintanya. Dalam hal ini adalah guru dan siswa.
Guru-guru rela menjatuhkan martabatnya hanya untuk menjaga nama baik
sekolahannya sehingga mereka seringkali melakukan tindakan kecurangan dalam
UAN. Seperti, memberikan jawaban kepada siswan-siswinya dan membetulkan
jawaban-jawaban siswa-siswinya.
terima kasih banyak artikel nya . sangat inspiratif banget kali ini saya mulai memahami agama adalah sumber moral yang paling utama
ReplyDelete