Wednesday 28 November 2012

ARTIKEL TENTANG SUMBER-SUMBER ETIKA (MENURUT AGAMA, FILSAFAH, YURIDIS)


ARTIKEL
TENTANG SUMBER-SUMBER ETIKA
(MENURUT AGAMA, FILSAFAH, YURIDIS)

DEFINISI “ETIKA”
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan.
Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000).
Biasanya bila kita mengalami kesulitan untuk memahami arti sebuah kata maka kita akan mencari arti kata tersebut dalam kamus. Tetapi ternyata tidak semua kamus mencantumkan arti dari sebuah kata secara lengkap. Hal tersebut dapat kita lihat dari perbandingan yang dilakukan oleh K. Bertens terhadap arti kata ‘etika’ yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama dengan Kamus Bahasa Indonesia yang baru. Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953 – mengutip dari Bertens,2000), etika mempunyai arti sebagai : “ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral)”. Sedangkan kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 – mengutip dari Bertens 2000), mempunyai arti :
1. ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban                                                                                                                                                                          moral (akhlak);
2. kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
3. nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Dari perbadingan kedua kamus tersebut terlihat bahwa dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama hanya terdapat satu arti saja yaitu etika sebagai ilmu. Sedangkan Kamus Bahasa Indonesia yang baru memuat beberapa arti. Kalau kita misalnya sedang membaca sebuah kalimat di berita surat kabar “Dalam dunia bisnis etika merosot terus” maka kata ‘etika’ di sini bila dikaitkan dengan arti yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama tersebut tidak cocok karena maksud dari kata ‘etika’ dalam kalimat tersebut bukan etika.
sebagai ilmu melainkan ‘nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat’. Jadi arti kata ‘etika’ dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama tidak lengkap.
K. Bertens berpendapat bahwa arti kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut dapat lebih dipertajam dan susunan atau urutannya lebih baik dibalik, karena arti kata ke-3 lebih mendasar daripada arti kata ke-1. Sehingga arti dan susunannya menjadi seperti berikut :
1. nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Misalnya, jika orang berbicara tentang etika orang Jawa, etika agama Budha, etika Protestan dan sebagainya, maka yang dimaksudkan etika di sini bukan etika sebagai ilmu melainkan etika sebagai sistem nilai. Sistem nilai ini bisaberfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial.
2. kumpulan asas atau nilai moral.
Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Contoh : Kode Etik Jurnalistik
3. ilmu tentang yang baik atau buruk.
Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat dan sering kali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral.
Etika adalah bidang kajian filsafat yang terkait dengan persoalan nilai moral perilaku manusia. Dalam sistematika filsafat, ia merupakan bagian dari kajian aksiologi, yaitu cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai. Sebagai bagian dari kajian filsafat, etika merupakan pemikiran filosofis tentang nilai moral, bukan nilai moral itu sendiri. Nilai moral adalah kualitas perilaku baik dari manusia. Ajaran yang memberi manusia tentang bagaimana berperilaku dengan kualitas baik adalah moralitas atau dalam Islam dikenal dengan akhlak.
Maka etika adalah ilmu atau lebih tepatnya pengetahuan filosofis, dan bukan merupakan ajaran (normatif) sebagaimana moralitas atau akhlak. Setiap moralitas atau akhlak menghendaki supaya manusia berperilaku baik sesuai dengan yang diajarkan, sedang etika menghendaki supaya manusia melakukan tindakan baik itu dengan kesadaran dan kepahamannya. Sadar dan paham atas apa yang dilakukannya, atas sumber dari mana “petunjuk” perbuatan itu,  atas alasan kenapa perbuatan itu dilakukannya, dan atas apa konsekuensi perbuatan itu jika benar-benar dilakukannya.
Terkait dengan ini, maka dapat kita temukan dua macam kajian etika.
 Pertama, adalah etika deskriptif  yaitu etika yang terlibat analisis kritis tentang sikap dan perilaku manusia dan (nilai) apa yang ingin dicapai dalam hidup ini. Dengan tanpa terlibat upaya memberikan “penilaian”, etika ini membicarakan tentang perilaku apa adanya, yaitu perilaku yang terjadi pada situasi dan realitas konkrit yang membudaya. Apa ukuran baik dan buruk bagi suatu tindakan, benarkah nilai-nilai itu bersifat absolut ataukah relatif, berlaku universal ataukah lokal, apa sanksi atau konsekuensi atas pelanggaran nilai-nilai etika itu.
Kedua adalah etika normatif. Dengan kajian yang mendalam, etika ini berusaha menetapkan berbagai sikap dan perilaku ideal yang seharusnya dimiliki dan dijalankan manusia serta tindakan apa yang seharusnya diambil untuk menggapai sesuatu yang bernilai dalam hidup ini.
Dari dua macam etika ini, terlihat bahwa dalam kajiannya, etika selalu terlibat analisis untuk “mengurai” tindakan yang oleh akhlak disebut “baik” itu, bahkan “mengurai” apa sebenarnya yang disebut akhlak itu.
Dalam kehidupan sehari-hari, istilah akhlak terkadang disebut dengan istilah adab. Maka, orang yang berakhlak, lalu disebut orang yang beradab, sebaliknya orang yang buruk perilakunya, disebut tidak beradab. Istilah akhlak terkadang juga disebut dengan sopan santun. Jika ada sekelompok masyarakat yang dapat hidup rukun, giat bekerja dengan cara-cara yang baik, masyarakat yang demikian ini lalu disebut dengan masyarakat yang santun atau yang mempunyai sopan santun, maka ada istilah masyarakat yang santun atau masyarakat yang beradab (civil society).
Dalam etika, nilai perilaku manusia dapat dibedakan dari dua sudut pandang. Pertama, perilaku yang dilihat dari sudut tujuannya. Pembahasan mengenai perilaku demikian, dalam kajian etika dikenal dengan teleologis. Berasal dari kata telos yang berarti tujuan. Teleologis adalah paham etika yang menekankan moral pada nilai intrinsik sebagai konsekuensi suatu perbuatan.
 Kedua, perilaku yang dilihat dari sudut prosesnya, yang dalam kajian etika dikenal deontologis. Berasal dari kata deon yang berarti proses. Deontologi adalah suatu paham etika yang menekankan perbuatan moral bukan pada nilai intrinsik dari konsekuensi perbuatan baik dan bijak karena perbuatan itu sendiri.
Secara sederhana bisa dikatakan, dua hal inilah yang menjadi ukuran baik-tidaknya akhlak seseorang. Pada yang pertama, perilaku manusia dikatakan baik jika tujuannya baik atau sebaliknya, perilaku manusia dapat dikatakan buruk jika tujuannya buruk. Sementara pada yang kedua, meski tujuannya buruk jika proses perilaku itu baik, maka perilaku itu tetap dikatakan baik, sebaliknya jika memang prosesnya buruk, meski tujuannya baik, perilaku akan tetap dikatakan buruk.
Kekacauan dalam melihat dua hal –tujuan dan proses– ini, mengakibatkan apa yang dimaksud dengan akhlak itu menjadi kabur. Misalnya: seseorang yang ingin menyantuni anak yatim, membantu fakir-miskin, atau memberi nafkah keluarga, memberi sumbangan pada masjid atau madrasah; semua ini jelas merupakan tujuan yang baik. Tetapi jika tujuan baik ini diwujudkan dengan cara-cara yang salah, seperti: memasang lotre, mencuri, korupsi, menipu, dan lain sebagainya, tentu semua ini tidak bisa disebut perbuatan yang baik atau berakhlak.

Ø  ETIKA MENURUT AGAMA
Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik. Etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control“, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok itu sendiri.

Etika disebut juga filsafat moral merupakan cabang filsafat yang berbicara tentang tindakan manusia. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak. Tindakan manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam norma, diantaranya norma hukum, norma moral, norma agama dan norma sopan santun. Norma hukum berasal dari hukum dan perundang-undangan, norma agama berasal dari agama, norma moral berasal dari suara hati dan norma sopan santun berasal dari kehidupan sehari-hari.
Etika tidak dapat menggantikan agama. Agama merupakan hal yang tepat untuk memberikan orientasi moral. Pemeluk agama menemukan orientasi dasar kehidupan dalam agamanya. Akan tetapi agama itu memerlukan ketrampilan etika agar dapat memberikan orientasi, bukan sekadar indoktrinasi.
 Hal ini disebabkan empat alasan sebagai berikut:
1.      Orang agama mengharapkan agar ajaran agamanya rasional. Ia tidak puas mendengar bahwa Tuhan memerintahkan sesuatu, tetapi ia juga ingin mengerti mengapa Tuhan memerintahkannya. Etika dapat membantu menggali rasionalitas agama.
2.       Seringkali ajaran moral yang termuat dalam wahyu mengizinkan interpretasi yang saling berbeda dan bahkan bertentangan.
3.       Karena perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan masyarakat maka agama menghadapi masalah moral yang secara langsung tidak disinggung-singgung dalam wahyu. Misalnya bayi tabung, reproduksi manusia dengan gen yang sama.
4.       Adanya perbedaan antara etika dan ajaran moral. Etika mendasarkan diri pada argumentasi rasional semata-mata sedangkan agama pada wahyunya sendiri. Oleh karena itu ajaran agama hanya terbuka pada mereka yang mengakuinya sedangkan etika terbuka bagi setiap orang dari semua agama dan pandangan dunia.

KARAKTERISTIK ETIKA ISLAM
1. Al Qur’an dan Sunnah Sebagai Sumber Moral
Sebagai sumber moral atau pedoman hidup dalam Islam yang menjelaskan
kriteria baik buruknya sesuatu perbuatan adalah Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
Kedua dasar itulah yang menjadi landasan dan sumber ajaran Islam secara keseluruhan
sebagai pola hidup dan menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk.
Al Qur’anul karim bukanlah hasil renungan manusia, melainkan firman Allah
Yang Maha Pandai dan Maha Bijaksana. Oleh sebab itu setiap Muslim berkeyakinan
bahwa ajaran kebenaran terkandung di dalam Kitabullah Al Qur’an yang tidak akan dapat
ditantangi oleh fikiran manusia. (QS. Al-Maidah (5): 15-16.
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءكَُمْ رَسُولُنَا يبَُيِّنُ لَكُمْ كَثِيرًا مِمَّا كُنْتُمْ تُخْفُونَ
مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ قَدْ جَاءكَُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ
Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan
kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang)
dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab
yang menerangkan.
Sebagai pedoman kedua sesudah Al Qur’an adalah Hadits Rasulullah SAW
(Sunnah Rasul) yang meliputi perkataan dan tingkah laku beliau. Hadits Nabi juga
dipandang sebagai lampiran penjelasan dari Al Qur’an terutama dalam masalah-masalah
yang dalam Al Qur’an tersurat pokok-pokonya saja. Al-Hadits sebagai pedoman hidup
dijelaskan dalam QS. Al-Hasyr (59) : 7,
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى
وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ
مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَ نْ هُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ
إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal
dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang
diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat
keras hukuman-Nya.
QS. Al-Ahzaab (33) : 21.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ
الآخِرَ وَذكََرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan
dia banyak menyebut Allah
Jika telah jelas bahwa Al Qur’an dan Sunnah Rasul adalah pedoman hidup yang
menjadi azas bagi setiap muslim, maka teranglah keduanya merupakan sumber moral
dalam Islam. Firman Allah SWT dan Sunnah Nabinya adalah ajaran yang paling mulia
dari segala ajaran manapun hasil renungan dan ciptaan manusia, sehingga telah menjadi
keyakinan (aqidah) Islam bahwa akal dan naluri manusia harus tunduk dan mengikuti
petunjuk dan pengarahannya. Dari pedoman itulah diketahui kriteria mana perbuatan
yang baik dan jahat, mana yang halal dan mana yang haram.
2. Kedudukan Akal dan Naluri
Berbeda dengan teori etika yang memandang bahwa akal dan nalurilah yang
menjadi dasar menentukan baik buruknya akhlak, maka ajaran etika Islam berpendirian
sebagai berikut :
a. Akal dan naluri manusia adalah anugerah Allah
b. Akal fikiran manusia terbatas sehingga pengetahuan manusiapun tidak akan mampu
memecahkan seluruh masalah yang maujud ini. (QS. Al-Isra’ (17): 85.
وَلَئِنْ شِئْنَا لَنَذْهَبَنَّ بِالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ ثُمَّ لا تَجِ د لَكَ بِهِ عَلَيْنَا
وَكِيلا
Dan sesungguhnya jika Kami menghendaki, niscaya Kami lenyapkan apa yang
telah Kami wahyukan kepadamu, dan dengan pelenyapan itu, kamu tidak akan
mendapatkan seorang pembela pun terhadap Kami,
Karena itu akal masih memerlukan bimbingan dan cahaya petunjuk dari sumber
kebenaran yang mutlak lebih utama, yakni wahyu dan kitabullah. Hanya akal yang
dipancari oleh cahaya Al Qur’an dan petunjuk Rasul akan memperoleh kedudukan
yang tepat dan akan dapat menemukan kedudukannya yang benar dan tepat.
c. Naluri manusiapun harus mendapat pengarahan dari petunjuk Allah yang dijelaskan
dalam kitab-Nya. Jika tidak, naluri itu akan salah penyalurannya. Misalnya naluri
makan, sexual, berjuang, dan lain-lain, jika diperturutkan begitu saja akan
menimbulkan kerusakan. Tetapi jika diarahkan menurut petunjuk-Nya, niscaya akan
tetap berjaklan di atas fitrahnya yang suci.
Demikianlah kedudukan naluri dan akal dalam pandangan etika islam, bahwa
keduanya perlu dimanfaatkan dan disalurkan sebaik-baiknya dengan bimbingan dan
pengarahan yang ditetapkan dalam Al Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.
3. Motivasi Iman
Tindakan dan pekerjaan manusia selalu didorong oleh suatu motivasi tertentu.
Motivasi itu bermacam-macam, ada karena kepentingan kekayaan, ingin masyhur
namanya, dan lain sebagainya. Adapun dalam pandangan Islam maka yang menjadi
pendorong yang paling dalam dan paling kuat untuk melakukan sesuatu amal perbuatan
yang baik adalah aqidah, iman yang terpatri dalam hati. Iman itulah yang membuat
seorang muslim ikhlas, mau bekerja (beramal) keras bahkan rela berkorban. Iman itulah
sebagai motivasi dan kekuatan penggerak yang paling ampuh dalam pribadinya yang
membuat dia tidak dapat diam dari melakukan kegiatan kebajikan dan amal shaleh
Jika “motor iman” itu bergerak, maka keluarlah produksinya berupa amal shaleh
dan akhlaqul karimah. Dengan demikian hanya dari jiwa yang dihayati iman dapat
diharapkan memancar kebaikan dan kebajikan yang sebenarnya. Kebaikan yang lahir
tanpa bersumberkan keimanan adalah kebaikan yang tidak mendapatkan penilaian di sisi
Allah. Dengan iman itulah, maka seorang mukmin selalu antusias berbuat baik sebanyakbanyaknya.
Sabda Rasul : “Sekali-kali tidaklah seoorang mukmin akan merasa kenyang
(puas) menegrjakan kebaikan, menjelang puncaknya memasuki surga”. (HR. Tirmidzi).
Iman yang sempurna menjelmakan cinta dan taat kepada Allah SWT.
4. Mata Rantai Akhlak
Dengan motivasi iman, terdoronglah seorang mukmin mengerjakan kebaikan
sebanyak-banyaknya menurut kemampuan tenaganya. Dalam memanivestasikan iman
tersebut terdapat “mata rantai” yang berkaitan dalam realisasinya, yakni : niat
(keikhlasan) dalam hati, dan pembuktian dengan amal perbuatan yang dilaksanakan oleh
anggota tubuh.
Sebelum melakukan suatu tindakan, harus didahului dengan niat untuk apa
pekerjaan itu dilakukan. Dalam hubungan ini, Islam menggariskan pemantapan niat yang
perbuatan itu dilakukan semata-mata ikhlas karena Allah SWT. Rasulullah SAW
menggariskan sebagai berikut : “Hanya sanya amal itu menurut niat, dan hanya sanya
bagi setiap manusia (akan memperoleh sesuatu) menurut apa yang diniatkannya”.
(Muttafaq ‘Alaih).
Setelah niat itu terpasang baik dalam hati, bergeraklah anggota tubuh (jasmani)
mengerjakan kebaikan memprodusir kebajikan sesuai dengan yang diniatkan itu . Dengan
perkataan lain bahwa hanyalah perbuatan yang disertai niat, yang dapat diterima dan
dipertanggung jawabkan. Amal tanpa niat tidak mendapatkan penilaian dalam pandangan
etika Islam.
5. Tujuan Luhur Etika Islam
Sesuai dengan pola hidup yang diajarkan Islam, bahwa seluruh kegiatan hidup,
harta kematian sekalipun, semata-mata dipersembahkan kepada Allah. Ucapan yang
selalu dinyatakan dalam do’a iftitah shalat, merupaka bukti nyata bahwa tujuan yang
tertinggi dari segala tingkah laku menurut pandangan etika Islam ialah mendapatkan
ridha Allah SWT (mardlatillah).
Jika seorang muslim mencari rezeki bukanlah sekedar untuk mengisi perut bagi
diri dan keluarganya. Pada hahikatnya dia mempunyai tujuan yang lebih tinggi atau
tujuan filosofis. Dia mencari rezeki untuk memenuhi hajat hidupnya itu barulah tujuan
yang dekat dan masih ada tujuan yang lebih tinggi lagi. Dia mencari rezeki untuk
mendapatkan makanan guna membina kesehatan rohani dan jasmani, sedangklan tujuan
membina kesehatan itu ialah supaya kuat beribadah dan beramal, yang dengan amal
ibadah itulah dia dapat mencapai tujuan akhir, yakni ridha Allah SWT. Jika dia belajar,
bukan hanya sekedar memiliki ilmu. Ilmu itu akan menjadi “jembatan emas” dalam
membina taqwa dan taqarrub kepada Allah SWT supaya menjadi insan yang diliputi
ridha illahi. Tegasnya segala niat, gerak-gerik bathin dan tindakan lahir dalam etika Islam
haruslah selalu terarah kepada ridha Allah, dan jalan taqwa yang ditempuhnya itulah
jalan yang lurus (Shiratalmustaqim).
Ridha Allah itulah yang menjadi kunci kebahagiaan yang kekal dan abadi yang
dijanjikan Allah dan yang dirindukan oleh setiap manusia beriman. Tanpa ridha Allah
maka kebahagiaan abadi dan sejati (surga) tidak akan dapat diraih. Panggilan itu
dikemukakan dalam QS.al-Fajr (89) : 27-30.
يَا أَيَّتُهَا النَّفْ س الْمُطْمَئِنَّة ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّة فَادْخُلِي فِي
عِبَادِيوَادْخُلِي جَنَّتِي
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku.
Masuklah ke dalam syurga-Ku.v
Prof. Dr. Mohsen Jawadi tampil pertama kali dengan pembahasan peran etika Islam (akhlaq) dalam kehidupan beragama. Menurut ajaran Islam, manusia diciptakan dengan tujuan “penghambaan” kepada Tuhan. Dalam kehidupan, manusia melakukan jihad (perjuangan), terutama jihad melawan diri sendiri. Perjuangan pengendalian diri inilah yang dinamakan akhlaq.

Etika Islam tidak hanya terkait dengan pengendalian hawa nafsu belaka, tetapi menaruh perhatian serius kepada usaha manusia mewujudkan nilai-nilai ketuhanan. Usaha ini kemudian diterjemahkan menjadi perlawanan terhadap kemiskinan dan ketidakadilan.

Dr. Fatimah Husein, pakar disiplin dialog antar agama, membawakan makalah “Revitalisasi Pemikiran Etika Fazlur Rahman”, seorang pakar studi tafsir Al Qur’an. Bagi Fazlur Rahman, konsep etika Islam tidak bisa dilepaskan dari persoalan kepemimpinan, pengetahuan serta implementasi iman dalam bentuk perbuatan aktif.

Dicky Sofjan, Ph.D. membawakan ‘Nahjul Balaghah’, salah satu literature klasik yang banyak mengupas etika Islam. Buku ini merupakan kumpulan narasi yang dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat dalam sejarah Islam.

Menurut Dicky, Islam tak bisa melepaskan diri dari diskursus politik sebagaimana diungkapkan Al Farabi, seorang filsuf Muslim terkemuka, dalam ide madinah fadhilah (virtuous city) yang dijadikan sebagai wahana implementasi demokrasi. Untuk kasus Indonesia yang merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, politik telah terjebak dalam problematika kompleks seperti: kegagalan birokrasi, ekonomi serta maraknya praktek korupsi dan kekerasan.

Prof. Dr. Mohsen Jawadi menekankan bahwa manusia mesti memiliki konsep pengetahuan akan etika sebelum menyentuh agama. Dengan pemahaman ini, umat Muslim akan memiliki niat baik sebelum mulai melakukan penafsiran terhadap sumber-sumber hukum Islam (Al Qur’an dan Al Hadist). [MoU]

Ø  ETIKA MENURUT FILSAFAT
Sejarah Filsafat Etika  Yunani
Jejak-jejak pertama sebuah etika muncul dikalangan murid Pytagoras. Kita tidak tahu banyak tentang pytagoras. Ia lahir pada tahun 570 SM di Samos di Asia Kecil Barat dan kemudian pindah ke daerah Yunani di Italia Selatan. Ia meninggal 496 SM. Di sekitar Pytagoras terbentuk lingkaran murid yang tradisinya diteruskan selama dua ratus tahun. Menurut mereka prinsip-prinsip matematika merupakan dasar segala realitas. Mereka penganut ajaran reinkarnasi. Menurut mereka badan merupakan kubur jiwa (soma-sema,”tubuh-kubur”). Agar jiwa dapat bebas dari badan, manusia perlu menempuh jalan pembersihan. Dengan bekerja dan bertapa secara rohani, terutama dengan berfilsafat dan bermatematika, manusia dibebaskan dari ketertarikan indrawi dan dirohanikan.
Seratus tahun kemudian, Demokritos (460-371 SM) bukan hanya mengajarkan bahwa segala apa dapat dijelaskan dengan gerakan bagian-bagian terkecil yang tak terbagi lagi, yaitu atom-atom. Menurut Demokritos nilai tertinggi adalah apa yang enak. Dengan demikian, anjuran untuk hidup baik berkaitan dengan suatu kerangka pengertian hedonistik.
Sokrates (469-399 SM) tidak meninggalkan tulisan. Ajarannya tidak mudah direkonstruksi karena bagian terbesar hanya kita ketahui dari tulisan-tulisn Plato. Dalam dialog-dialog palto hampir selalu Sokrates yang menjadi pembicara utama sehingga tidak mudah untuk memastikan pandangan aslinya atau pandangan Plato sendiri. Melalui dialog Sokrates mau membawa manusia kepada paham-paham etis yang lebih jelas dengan menghadapkannya pada implikasi-implikasi anggapan-anggapannya sendiri. Dengan demikian, manusia diantar kepada kesadaran tentang apa yang sebenarnya baik dan bermanfaat. Dari kebiasaan untuk berpandangan dangkal dan sementara, manusia diantar kepada kebijaksanaan yang sebenarnya.
Plato (427 SM) tidak menulis tentang etika. Buku etika pertama ditulis oleh Aristoteles  (384 SM). Namun dalam banyak dialog Plato terdapat uraian-uraian bernada etika. Itulah sebabnya kita dapat merekontruksi pikiran-pikiran Plato tentang hidup yang baik.  Intuisi daar Plato tentang hidup yang baik itu mempengaruhi filsafat dan juga kerohanian di Barat selama 2000 tahun. Baru pada zaman modern paham tentang keterarahan objektif kepada Yang Ilahi dalam segala yang ada mulai ditinggalkan dan diganti oleh pelbagai pola etika; diantaranya etika otonomi kesadaran moral Kant adalah yang paling penting. Etika Plato tidak hanya berpengaruh di barat, melainkan lewat Neoplatoisme juga masuk ke dalam kalangan sufi Muslim.  Disinilah nantinya jalur hubungan pemikiran filsafat yunani dengan pemikir muslim seperti Ibn Miskawaih yang banyak mempelajari filsafat yunani sehingga mempengaruhi tulisan-tulisannya mengenai filsafat etika.
Setelah Aristoteles, Epikuros (314-270 SM) adalah tokoh yang berepengaruh dalam filsafat etika. Ia mendirikan sekolah filsafat di Athena dengan nama Epikureanisme , akan menjadi salah satu aliran besar filsafat Yunani pasca Aristoteles. Berbeda dengan Plato dan Aristoteles, berbeda juga dengan Stoa, Epikuros dan murid-muridnya tidak berminat memikirkan, apalagi masuk ke bidang politik. Ciri khas filsafat Epikuros adalah penarikan diri dari hidup ramai. Semboyannya adalah  “hidup dalam kesembunyian“.  
Etika Epikurean bersifat privatistik. Yang dicari adalah kebahagiaan pribadi. Epikuros menasihatkan orang untuk menarik diri dari kehidupan umum, dalam arti ini adalah individualisme. Namun ajaran Epikuros tidak bersifat egois. Ia mengajar bahwa sering berbuat baik lebih menyenangkan daripada menerima kebaikan.  Bagi kaum Epikurean, kenikmatan lebih bersifat rohani dan luhur  daripada jasmani. Tidak sembarang keinginan perlu dipenuhi. Ia membedakan antara keinginan alami yang perlu (makan), keinginan alami yang tidak perlu (seperti makanan yang enak), dan keinginan sia-sia (seperti kekayaan).
Tokoh-tokoh filsafat etika masih banyak lagi, dan penulis berkeinginan membahas semuanya disini, namun karena keterbatasan tempat dan tema yang diangkat maka tokoh yang disebut diatas penulis anggap sudah cukup mewakili sejarah filsafat etika pada masa itu. Dan korelasinya dengan intelektual islam pada masa sesudahnya seperti Ibn Miskawaih yang dalam banyak tulisannya (karya) banyak dipengaruhi dari pemikiran tokoh filsafat yunani.
Dan meskipun para ahli memberikan makna kebahasaan yang cukup beragam terhadap kata etika itu, namun makna-makna itu pada umumnya tetap berada pada lingkaran di seputar perbuatan-perbuatan kategori akhlaki seperti: kebiasaan, tingkah laku, kesusilaan dan semisalnya. Sementara itu pengertian kata moral, yang secara etimologis berasal dari bahasa Latin mos dan jamaknya adalah mores berarti kebiasaan dan adat.  Dalam bahasa Indonesia, kata Suwito, pada umumnya kata moral diidentikkan dengan kata etika.
Adapun secara istilah, pengertian etika tampak berbeda dengan moral, dan juga dengan akhlak. Sebagai disampaikan oleh Komaruddin Hidayat, etika adalah suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia.  Sejalan dengan pengertian ini, Suwito menegaskan bahwa etika baru menjadi sebuah ilmu bila kemungkinan-kmungkinan etis telah menjadi refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini, lanjut Suwito, identik dengan filsafat moral.  Bersama estetika, etika merupakan cabang filsafat yang menjadi bagian dari wilayah nilai, sehingga etika didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mengkaji secara rasional, kritis, reflektif, dan radikal persoalan moralitas manusia.  Jadi etika membicarakan perilaku manusia (kebiasaan) ditinjau dari baik-buruk, atau teori tentang perbuatan manusia ditinjau dari nilai baik-buruknya.  Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa etika merupakan bidang garapan filsafat, dengan moralitas sebagai objek meterialnya. Jadi, studi kritis terhadap moralitas itulah yang merupakan wilayah etika.  Bila dirujukkan dengan penjelasan Pudjowijatno, bila moralitas sebagai objek materialnya, maka tindakan manusia yang dilakukannya dengan sengaja adalah objek formal dari etika,  dan perilaku sengaja inilah yang biasa pula dinamakan dengan tindakan akhlaki atau perilaku etis.  Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan hidup yang baik. Sementara moral lebih beraakenaan dengan tingkah laku yang kongkrit, berbeda dengan etika yang bekerja pada level teori.
Atas dasar pengertian tersebut dapat ditarik garis batas dan garis hubungan etika dengan moral di satu pihak dan dengan akhlak pada pihak lain. Moral merupakan aturan-aturan normatif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertntu yang terbatas oleh ruang dan waktu, yang penetapan tata nilai itu di masyarakat menjadi wilayah garapan antropologi. Dengan demikian moral lebih dekat dengan akhlak, meski tidak sepenuhnya, ketimbang dengan etika.
Meski demikian mesti dikatakan bahwa karakteristika akhlak adalah bersifat agamis, dan ini tidak ada pada moral. Oleh karena itu akhlak lebih merupakan sebagai suatu paket atau barang jadi yang bersifat normatif-mengikat, yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim, tanpa mempertanyakan secara kritis, sehingga akhlak bisa disebut dengan moralitas islami. Studi kritis terhadap moralitas itulah wilayah etika, sehingga moral tidak lain adalah objek kajian daripada etika.  Dengan demikian kalau dibandingkan dengan penjelasan mengenai akhlak di atas, kiranya dapat diketahui bahwa etika lebih menunjuk pada ilmu akhlak, sedangkan moral lebih merupakan perbuatan konkrit realisasi dari kekuatan jiwa.
Meski demikian harus tetap dikatakan bahwa dari segi sumbernya keduanya berbeda. Etika bersumber dari pemikiran manusia terutama filsafat Yunani, sedangkan ilu akhlak, meski juga merupakan hasil pemikiran, tetapi ia bersimber dari wahyu yakni al-Qur’an dan al-Hadis. Dengan kata lain, meski sejumlah penulis muslim sering menggunakan istilah etika dalam mengungkapkan perkataan ilmu akhlak, namun sama sekali tidak berarti bahwa sumber pokok keduanya sama. Barangkali kalau ada beberapa ahli yang tidak membedakan dua istilah itu, sangat boleh jadi karena mereka melihat betapa pengembangan ilmu akhlak masa sekarang banyak ditunjang oleh analisis filsafat. Dengan demikian—dalam batas tertentu—dapat dikatakan bahwa ilmu akhlak bersumber pokok pada wahyu, hanya pengebangannya dilakukan dengan menggunakan filsafat sebagai sarananya; sedangkan etika semata-mata bersumber dari filsafat, tidak terkait dengan wahyu.
Selanjutnya adalah menyengkut perbedaan akhlak dengan moral. Meski keduanya sama-sama menunjuk pada perbuatan, namun bila dilihat dari objeknya, dua istilah itu tidak identik; sifat akhlak adalah teorsentris, karena segala perbuatan yang ditunjuk oleh istilah akhlak dilihat dalam kontksnya dengan Tuhan, baik perbuatan dalam hubungannya dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia. Sementara moral hanya menunjuk pada perbuatan dengan sesama manusia, tidak menunjuk pada yang dengan Tuhan, karenanya bersifat antroposentris, dan tujuannya hanya sebatas untuk kepentingan manusia. Dengan kaata lain, objek akhlak lebih kompleks karena mencakup akhlak terhadap Tuhan dan akhlak terhadap manusia, dan keduanya bersifat teorsentris; sementara moral hanya menyangkut perbuatan terhadap sesama manusia, dan hanya dilihat untuk tujuan antroposentris.
 Filsafat Etika Ibn Miskawayh
Nama lengkap Ibnu Miskawayh adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Yaqub ibn Miskawayh. Ia lahir di kota Ray (Iran) pada 320 H (932) M) dan wafat di Asfahan 9 Safar 421 H (16 Februari 1030 M).  Ibnu Miskawayh mendapat gelar guru ketiga setelah al-Farabi.  Ia belajar sejarah dan filsafat, serta pernah menjadi khazin (pustakawan) Ibn al-‘Abid dimana dia dapat menuntut ilmu dan memperoleh banyak hal positif berkat pergaulannya dengan kaum elit. Setelah itu Ibnu Miskawayh meninggalkan Ray menuju Bagdad dan mengabdi kepada istana Pangeran Buwaihi sebagai bendaharawan dan beberapa jabatan lain. Akhir hidupnya banyak dicurahkannya untuk studi dan menulis.
Ibnu Miskawayh lebih dikenal sebagai filsuf akhlak (etika) walaupun perhatiannya luas meliputi ilmu-ilmu yang lain seperti kedokteran, bahasa, sastra, biologi dengan teori evolusinya  dan sejarah. Bahkan dalam literatur filsafat Islam, tampaknya hanya Ibnu Miskawayh inilah satu-satunya tokoh filsafat akhlak.
Ibnu Miskawayh meninggalkan banyak karya penting, misalnya tahdzibul akhlaq (kesempurnaan akhlak), tartib as-sa’adah (tentang akhlak dan politik), al-siyar (tentang tingkah laku kehidupan), dan jawidan khirad (koleksi ungkapan bijak).
Seperti ilmuwan lainnya pada era abad ke-4 H dan ke-5 H (abad ke-10 M dan ke-11 M) Ibnu Miskawayh merupakan orang yang memiliki wawasan luas dalam bidang filosofi, berdasarkan pada pendekatannya terhadap filsafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Walaupun filosofi yang diterapkannya khusus untuk masalah-masalah Islam, ia jarang menggunakan agama untuk mengubah filosofi, dan selanjutnya dikenal sebagai seorang humanis Islam. Dia menunjukkan kecenderungan dalam filsafat Islam untuk menyesuaikan Islam kedalam sistem praktik rasional yang lebih luas umum bagi semua manusia.
Neoplatonism Ibnu Miskawayh memiliki dua sisi yakni praktik dan teori. Dia memberikan peraturan untuk kelestarian kesehatan moral berdasarkan pandangan budidaya karakter. Ini menjelaskan cara di mana berbagai bagian jiwa dapat dibawa bersama ke dalam harmoni, sehingga mencapai kebahagiaan.
Ini adalah peran filsuf moral untuk menetapkan aturan untuk kesehatan moral, seperti dokter menetapkan aturan untuk kesehatan fisik. Kesehatan moral didasarkan pada kombinasi pengembangan intelektual dan tindakan praktis.
Ibnu Miskawayh menggunakan metode eklektik dalam menyusun filsafatnya, yaitu dengan memadukan berbagai pemikiran-pemikiran sebelumnya dari Plato, Aristoteles, Plotinus, dan doktrin Islam. Namun karena inilah mungkin yang membuat filsafatnya kurang orisinal. Dalam bidang-bidang berikut ini tampak bahwa Ibnu Miskawayh hanya mengambil dari pemikiran-pemikiran yang sudah dikembangkan sebelumnya oleh filsuf lain.
Ibnu Miskawayh menulis dalam berbagai topik yang luas, berkisar sejarah psikologi dan kimia, tapi dalam filsafat metafisikanya tampaknya secara  umum telah diinformasikan oleh versi Neoplatonism. Dia menghindari masalah merekonsiliasi agama dengan filsafat dengan klaim dari filsuf Yunani yang tidak menayangkan fokus kesatuan dan keberadaan Allah.
Menurut Ibnu Miskawaih, Tuhan merupakan zat yang tidak berjisim, azali, dan pencipta. Tuhan adalah esa dalam segala aspek, tidak terbagi-bagi dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya. Tuhan ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak tergantung pada yang lain, sedangkan yang lain membutuhkannya. Tuhan dapat dikenal dengan proposisi negatif karena memakai proposisi positif berarti menyamakan-Nya dengan alam.
Ibnu Miskawayh menganut paham Neo-Platonisme tentang penciptaan alam oleh Tuhan. Ibnu Miskawayh menjelaskan bahwa entitas pertama yang memancar dari Tuhan adalah ‘aql fa’al (akal aktif). Akal aktif ini bersifat kekal, sempurna, dan tidak berubah. Dari akal ini timbul jiwa dan dengan perantaraan jiwa timbul planet (al-falak). Pancaran yang terus-menerus dari Tuhan dapat memelihara tatanan di alam ini, menghasilkan materi-materi baru. Sekiranya pancaran Tuhan yang dimaksud berhenti, maka berakhirlah kehidupan dunia ini.
Kitab Taharat al-A’raq merupakan karya yang paling tinggi dan menunjukkan fakta-fakta kompleksitas yang konseptual sekali. Dalam karyanya itu, ia menetapkan untuk menunjukkan bagaimana kita dapat mungkin memperoleh watak yang baik untuk melakukan tindakan yang benar dan terorganisir serta sistematis.
Menurut  Ibnu Miskawayh, jiwa adalah abadi dan substansi  bebas yang mengendalikan tubuh. Itu intisari berlawanan pada tubuh, sehingga tidak mati karena terlibat dalam satu gerakan lingkaran dan gerakan abadi, direplikasi oleh organisasi dari surga. Gerakan ini berlangsung dua arah, baik menuju alasan ke atas dan akal yang aktif atau terhadap masalah kebawah.  Kebahagiaan kami timbul melalui gerakan keatas, kemalangan kami melalui gerakan dalam arah berlawanan.
Pembahasan Ibnu Miskawayh tentang kebaikan dengan menggabungkan ide Aristoteles dengan Platonic. Menurut dia, kebaikan merupakan penyempurnaan dari aspek jiwa (yakni, alasan manusia) yang merupakan inti dari kemanusiaan dan membedakan dari bentuk keberadaan rendah.
Bapak Etika Islam
Ibnu Miskawayh dikenal sebagai bapak etika Islam. Ia telah telah merumuskan dasar-dasar etika di dalam kitabnya Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq (pendidikan budi dan pembersihan akhlaq). Sementara itu sumber filsafat etika ibnu Miskawayh berasal dari filsafat Yunani, peradaban Persia, ajaran Syariat Islam, dan pengalaman pribadi.
Menurut Ibnu Miskawayh, akhlak merupakan bentuk jamak dari khuluq yang berarti peri keadaan jiwa yang mengajak seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa difikirkan dan diperhitungkan sebelumnya. Sehingga dapat dijadikan fitrah manusia maupun hasil dari latihan-latihan yang telah dilakukan, hingga menjadi sifat diri yang dapat melahirkan khuluq yang baik.
Kata dia, ada kalanya manusia mengalami perubahan khuluq sehingga dibutuhkan aturan-aturan syariat, nasihat, dan ajaran-ajaran tradisi terkait sopan santun. Ibnu Maskawayh memperhatikan pula proses pendidikan akhlaq pada anak. Dalam pandangannya, kejiwaan anak-anak seperti mata rantai dari jiwa kebinatangan dan jiwa manusia yang berakal.
Menurut dia, jiwa anak-anak itu menghilangkan jiwa binatang tersebut dan memunculkan jiwa kemanusiaannnya.  ”Jiwa manusia pada anak-anak mengalami proses perkembangan. Sementara itu syarat utama kehidupan anak-anak adalah syarat kejiawaan dan syarat sosial,”
ungkap Ibnu Miskawayh.
Sementara nilai-nilai keutamaan yang harus menjadi perhatian ialah pada aspek jasmani dan rohani. Ia pun mengharuskan keutamaan pergaulan anak-anak pada sesamanya mestilah ditanamkan sifat kejujuran, qonaah, pemurah, suka mengalah, mngutamakan kepentingan orang lain, rasa wajib taat, menghormati kedua orang tua, serta sikap positif lainnya.
Ibnu Maskawaih membedakan antara al-Khair (kebaikan), dan as-sa’adah (kebahagiaan). Beliau mengambil alih konsep kebaikan mutlak dari Aristoteles, yang akan mengantarkan manusia pada kebahagiaan sejati. Menurutnya kebahagiaan tertinggi adalah kebijaksanaan yang menghimpun dua aspek; aspek teoritis yang bersumber pada selalu berfikir pada hakekat wujud dan aspek praktis yang berupa keutamaan jiwa yang melahirkan perbuatan baik. Dalam menempuh perjalananannya meraih kebahagiaan tertinggi tersebut manusia hendaklah selalu berpegangan pada nilai-nilai syariat, sebagai petunjuk jalan mereka.
Ia berpendapat jiwa manusia terdiri atas tiga tingkatan, yakni  nafsu kebinatangan, nafsu binatang buas, dan jiwa yang cerdas. ”Setiap manusia memiliki potensi asal yang baik dan tidak akan berubah menjadi jahat, begitu pula manusia yang memiliki potensi asal jahat sama sekali tidak akan cenderung kepada kebajikan, adapun mereka yang yang bukan berasal dari keduanya maka golongan ini dapat beralih pada kebajikan atau kejahatan, tergantung dengan pola pendidikan, pengajaran dan pergaulan.
 Filsafat Etika Al-Ghazali
Al-Ghazâlî adalah salah satu tokoh yang paling terkenal yang hidup pada tahun 450-505 H. bertepatan dengan 1058-1111 M. Lebih-lebih lagi di kalangan mereka yang mempelajari kitab-kitab yang ditulisnya seperti Ihyâ`u `Ulûm al-Dîn, Minhaj al-`Âbidîn, Bidâyat al-Hidâyah dan lain lain lagi. Nama lengkapnya ialah Muhamad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Ghazâlî al-Tûsî. Beliau lebih dikenal dengan panggilan al-Ghazâlî yaitu nisbah kepada kampung tempat kelahirannya yaitu Ghazalah yg terletak di pinggir bandar Tusi di dalam wilayah Khurasan, Parsi (Iran). Dengan itu al-Ghazâlî berarti orang Ghazalah, kemungkinan juga panggilan tersebut dinisbahkan kepada bapanya seorang tukang tenun kain bulu yang dalam bahasa arabnya dikatakan al-ghazzâl. Al-Ghazâlî juga digelar Abû Hamîd, dinisbahkan kepada anaknya. Beliau juga digelar hujjat al-islâm yaitu suatu gelaran penghormatan yang diberikan kepadanya kerana kejituan dan kecerdasannya di dalam membela agama Islam.
Ia dikenal sebagai seorang ulama, filsuf, dokter, psikolog, ahli hukum, dan sufi yang sangat berpengaruh di dunia Islam.
Selain itu, berbagai pemikiran Algazel--demikian dunia Barat menjulukinya--juga banyak mempengaruhi para pemikir dan filsuf Barat pada abad pertengahan. Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali sungguh fenomenal. ''Tak diragukan lagi bahwa buah pikir Al-Ghazali begitu menarik perhatian para sarjana di Eropa,'' tutur Margaret Smith dalam bukunya yang berjudul Al-Ghazali: The Mystic yang diterbitkan di London, Inggris, tahun 1944. Salah seorang pemikir Kristen terkemuka yang sangat terpengaruh dengan buah pemikiran Al-Ghazali, kata Smith, adalah ST Thomas Aquinas (1225 M-1274 M). Aquinas merupakan filsuf yang kerap dibangga-banggakan peradaban Barat. Ia telah mengakui kehebatan Al-Ghazali dan merasa telah berutang budi kepada tokoh Muslim legendaris itu. Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali sangat mempengaruhi cara berpikir Aquinas yang menimba ilmu di Universitas Naples. Saat itu, kebudayaan dan literatur-literatur Islam begitu mendominasi dunia pendidikan Barat.
Perbedaan terbesar pemikiran Al-Ghazali dengan karya-karya Aquinas dalam teologi Kristen, terletak pada metode dan keyakinan. Secara tegas, Al-Ghazali menolak segala bentuk pemikiran filsuf metafisik non-Islam, seperti Aristoteles yang tidak dilandasi dengan keyakinan akan Tuhan. Sedangkan, Aquinas mengakomodasi buah pikir filsuf Yunani, Latin, dan Islam dalam karya-karya filsafatnya.
Al-Ghazali dikenal sebagai seorang filsuf Muslim yang secara tegas menolak segala bentuk pemikiran filsafat metafisik yang berbau Yunani. Dalam bukunya berjudul The Incoherence of Philosophers, Al-Ghazali mencoba meluruskan filsafat Islam dari pengaruh Yunani menjadi filsafat Islam, yang didasarkan pada sebab-akibat yang ditentukan Tuhan atau perantaraan malaikat. Upaya membersihkan filasat Islam dari pengaruh para pemikir Yunani yang dilakukan Al-Ghazali itu dikenal sebagai teori occasionalism.
Sosok Al-Ghazali sangat sulit untuk dipisahkan dari filsafat. Baginya, filsafat yang dilontarkan pendahulunya, Al-Farabi dan Ibnu Sina, bukanlah sebuah objek kritik yang mudah, melainkan komponen penting buat pembelajaran dirinya.
Filsafat dipelajari Al-Ghazali secara serius saat dia tinggal di Baghdad. Sederet buku filsafat pun telah ditulisnya. Salah satu buku filsafat yang disusunnya, antara lain, Maqasid al-Falasifa (The Intentions of the Philosophers). Lalu, ia juga menulis buku filsafat yang sangat termasyhur, yakni Tahafut al-Falasifa (The Incoherence of the Philosophers).
Al-Ghazali merupakan tokoh yang memainkan peranan penting dalam memadukan sufisme dengan syariah.  Konsep-konsep sufisme begitu baik dikawinkan sang pemikir legendaris ini dengan hukum-hukum syariah. Ia juga tercatat sebagai sufi pertama yang menyajikan deskripsi sufisme formal dalam karya-karyanya. Al-Ghazali juga dikenal sebagai ulama Suni yang kerap mengkritik aliran lainnya. Ia tertarik dengan sufisme sejak berusia masih belia.
Salah satu tokoh Asy’ariyah yang banyak mengembangkan teori etika di dunia Islam adalah al-Ghazali. Beliau menghubungkan wahyu dengan tindakan moral. Al-Ghazali menyarankan kepada kita untuk memandang kebahagiaan sebagai pemberian anugerah Tuhan. Al-Ghazali menganggap keutamaan-keutamaan dengan pertolongan Tuhan adalah sebuah keniscayaan dalam keutamaan jiwa. Jadi, dengan menerapkan istilah keutamaan kepada pertolongan Tuhan, Al-Ghazali bermaksud menghubungkan keutamaan dengan Tuhan. Tidak ada keutamaan lain yang dapat dicapai tanpa pertolongan Tuhan. Bahkan, al-Ghazali menegaskan bahwa tanpa pertolongan Tuhan, usaha manusia sendiri dalam mencari keutamaan sia-sia, dan dapat membawa kepada sesuatu yang salah dan dosa.
Rupanya, al-Ghazali ingin menyamakan pengertian etika atau moralitas sama halnya dalam teologi Islam. Menurut Amin Abdullah, al-Ghazali jatuh pada “reduksionisme teologis”. Artinya, al-Ghazali menempatkan wahyu al-Qur’an menjadi petunjuk utama --atau bahkan satu-satunya-- dalam tindakan etis, dan dengan keras menghindari intervensi rasio dalam merumuskan prinsip-prinsip dasar universal tentang petunjuk ajaran al-Qur’an bagi kehidupan manusia. Titik perbedaan antara filsafat etika al-Ghazali dan Kant terletak pada penggunaan rasionalitas. Al-Ghazali menyusun teori etika mistik, sedang Kant membangun sistem etika rasional yang teliti untuk menggantikan doktrin metafisika-dogmatik-spekulatif.
Menurut al-Ghazâlî akhlak adalah keadaan batin yang menjadi sumber lahirnya suatu perbuatan di mana perbuatan itu lahir secara spontan, mudah, tanpa menghitung untung rugi.
Orang yang berakhlak baik, ketika menjumpai orang lain yang perlu ditolong maka ia secara spontan menolongnya tanpa sempat memikirkan resiko. Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka.
Etika atau akhlak menurut pandangan al-Ghazali bukanlah pengetahuan (ma’rifah) tentang baik dan jahat atau kemauan (qudrah) untuk baik dan buruk, bukan pula pengamalan (fi’il) yang baik dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap. Al-Ghazali berpendapat sama dengan Ibn Miskawaih bahwa penyelidikan etika harus dimulai dengan pengetahuan tentang jiwa, kekuatan-kekuatan dan sifat-sifatnya. Tentang klasifikasi jiwa manusia pun al-Ghazali membaginya ke dalam tiga; daya nafsu, daya berani, dan daya berfikir, sama dengan Ibn Miskawaih.  
Menurut al-Ghazali watak manusia pada dasarnya ada dalam keadaan seimbang dan yang memperburuk itu adalah lingkungan dan pendidikan. Kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan itu tercantum dalam syariah dan pengetahuan akhlak. Tentang teori Jalan Tengah Ibn Miskawaih, al-Ghazali menyamakannya dengan konsep Jalan Lurus (al-Shirât al-Mustaqîm) yang disebut dalam al-Qur’an dan dinyatakan lebih halus dari pada sehelai rambut dan lebih tajam dari pada mata pisau. Untuk mencapai ini manusia harus memohon petunjuk Allah karena tanpa petunjuk-Nya tak seorang pun yang mampu melawan keburukan dan kejahatan dalam hidup ini. Kesempurnaan jalan tengan dapat di raih melalui penggabungan akal dan wahyu.
Al-Ghazali, untuk pertama kalinya, menghancurkan otoritas Aristoteles dan pada saat yang sama menabur bibit-bibit filsafat mekanika, fondasi rnetafisika un¬tuk sains modern. Maka kontribusinya itu tidak hanya destruktif, tetapi juga kons¬truktif. Alih-alih menghambat perkembang¬an sains, al-Ghazãli adalah seorang agen dalam memfasilitasi kemajuan yang lebih jauh. Sebagai seorang individu, ia telah mencapai untuk pertama kalinya antara tahun 1094 dan 1108 hal-hal yang sama seperti apa dicapai orang-orang Eropa selama lima abad, yaitu dan akhir abad ke- 12 hingga abad ke- 17. Dengan demiki¬an, ia mensimbolisasikan individualisme, suatu pemikiran yang bernilai pada zaman Renaissance, dalam cara yang paling baik, dan alih-alih mengikuti otoritas filsafat, ia menyerang dan menghancurkan ide-ide bid’ah Aristoteles dan Aristotelianisme dalam tiga tahun, yaitu dan tahun 1092 hingga 1095.
Dia telah menunjukkan anomali¬-anomali pada Aristotelianisme dalam pan¬dangan teologi Islam, membentangkan dasar-dasar metafisika Descartes, men¬dukung kepercayaan atomistik dengan mengemasnya dalam kemasan teologis jauh sebelum Pierre Gassendi meng-Kris¬ten-kan atomisme, dan menolak keharu¬san kausalitas, yang dengan demikian mendahului David Hume. Tentu saja, de¬ngan pernyataan-pernyataan ini saya tidak mengklaim adanya suatu pengaruh lang¬sung, tetapi mencoba menemukan paralelisme yang rapat yang ada antara Islam dan Barat. Perlu dicatat bahwa al-Ghazali berbicara dan tinjauan teologi Islam sementara para pemikir yang dise¬but di atas, jika mereka pernah mengam¬bil manfaat dan ide-ide al-Ghazãli, meng¬ambil ide-ide itu tanpa melihat kontek¬snya dan menggunakan ide-ide tersebut untuk tujuan mereka.
Pandangan-pan¬dangan Aristoteles, seperti yang dikem¬bangkan oleh al-Fãrãbi dan lbn Sinã, itu sebe¬tulnya dekat dengan pandangan para penulis Islam. Seluruh kesalahan mereka dapat dirangkum dalam dua puluh poin, tiga diantaranya mereka harus dianggap kafir dan tujuh belasnya sebagai bid’ah. Al-Ghazali menyusun Tahafut al-Falasifa (Kerancuan para Filosof) adalah untuk menunjukkan ke¬salahan pandangan-pandangan mereka dalam dua puluh poin itu. Tiga poin yang membuat mereka berbeda dan semua umat Islam adalah seperti berikut:
(a) Mereka mengatakan bahwa tidak ada kebangkitan kembali bagi tubuh; han¬ya roh yang diberi pahala atau disiksa, dan pahala dan siksa itu pun bersifat spiritual, tidak badani. Mere¬ka betul-betul berbicara benar dalam menegaskan yang bersifat spiritual, karena memang hal itupun terjadi; tetapi mereka berbicara salah dalam menolak yang bersifat badani dan dalam pernyataan mereka itu tidak niengimani wahyu Tuhan.
(b)  Mereka mengatakan bahwa Tuhan mengetahui universalia tetapi tidak rriengetahui partikularia. ini juga jelas¬jelas tidak beriman. Yang benar ada¬lah bahwa ‘tidak ada yang tersembunyi daripada-Nya yang ada di langit dan yang ada di bumi’ walau seberat atom pun’ (Qs. 34, 3).
(c)  Mereka mengatakan bahwa dunia itu kekal, tanpa awal. Tetapi tidak ada umat Islam yang mengadopsi pandan¬gan demikian dalam persoalan ini.
Filsafat Etika Antara Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî
Abad kesepuluh masehi menjadi periode gemilang dalam perkembangan peradaban Islam. Pada masa itu, para intelektual Muslim telah sampai pada puncak kematangan pemikiran dan berbagai ide. Bahkan beragam ide yang berasal dari tradisi intelektual di luar Islam, khususnya filsafat Yunani.
Apalagi kala itu, pada saat Dinasti Abasid berkuasa, gencar melakukan translasi atau penerjemahaan karya-karya dari berbagai bidang ilmu ke dalam bahasa Arab. Tak ayal jika banyak Dâr al-`Ilm (semacam perpustakaan umum) didirikan. Bukan hanya di pusat pemerintahan, Baghdad, tetapi juga di Kairo, Kordoba, dan di belahan dunia Islam lainnya.
Tak hanya perpustakaan umum yang tumbuh bak cendawan di musim hujan, perpustakaan pribadi juga banyak bermunculan. Mudahnya akses ke berbagai pengetahuan ini tak heran membuat banyak kalangan yang membuat majelis kajian untuk berdiskusi mengenai hal ihwal agama, filsafat maupun bidang lainnya.  
Pada masa seperti inilah kemudian muncul seorang intelektual Muslim terkemuka dalam bidang etika yaitu Ibn Miskawayh yang masa hidupnya dia habiskan di tanah kelahirannya.
Kemudian Ibn Miskawayh meninggalkan kota kelahirannya menuju Baghdad, Irak. Ia bekerja sebagai pustakawan di perpustakaan umum pada masa pemerintah dinasti Abbasiyyah. Ia bekerja di sana hingga beberapa kali pergantian kekuasaan terjadi. Perpustakaan bagi dirinya merupakan sekolah yang membuatnya mampu berinteraksi dengan berbagai ilmu pengetahuan.
Ia secara tekun dan serius melakukan kajian di bidang filsafat, sejarah dan kedokteran, bahkan kimia. Di antara kajian yang menjadi perhatian utamanya adalah filsafat Yunani dan sejarah. Kedua kajian inilah di kemudian hari mengantarnya menjadi intelektual yang mengagumkan dalam kedua bidang tersebut.
Seperti ilmuwan yang hidup di zamannya, Ibn Misakawayh mempelajari filsafat dan sejarah sebagai alat untuk menemukan kebanaran. Namun, ia lebih memberi tekanan kepada kajian filsafat terutama filsafat etika. Ia merumuskan langkah bagaimana membangun moral yang sehat serta menguraikan cara-cara membangun jiwa yang harmonis.
Di kemudian hari ia lebih dikenal sebagai seorang Islam humanis. Pasalnya ia memiliki kecenderungan agar Islam dapat masuk ke dalam sistem praktik rasional yang lebih luas pada semua ranah kemanusiaan. Dengan kajian filsafat Yunani ia kemudian terpengaruh oleh pemikiran Neoplatonisme baik pada sisi teori maupun praktik. Label humanis bagi Ibn Miskawayh juga disematkan oleh kalangan pemikir Muslim, misalnya, Mohamed Arkoun pada 1969 menyematkan label terhadap dirinya sebagai seorang humanis. Namun hal ini dilihat dalam sudut pandang tradisi intelektual Islam, bukan dalam tradisi intelektual humanisme Eropa.
Dalam kajian filsafat etika, Ibn Miskawayh menelurkan karya monumental yaitu Tahdzîb al-Akhlâq (pembinaan akhlak). Dalam kitab yang terdiri atas tujuh bagian ini, secara umum ia membicarakan bagaimana seseorang dapat mencapai kebahagiaan tertinggi melalui moral yang sehat.
Hal ini menggambarkan bagaimana berbagai bagian jiwa diharmonikan untuk mencapai kebahagiaan. Ini adalah peran filsuf moral atau etika memberikan resep bagi kesehatan moral yang berpijak pada kombinasi pengembangan intelektual dan praktik keseharian.
Pada bagian awal dalam kitabnya, ia membicarakan tentang jiwa dan sifat-sifatnya. Seseorang akan mampu menggapai kebahagiaan hidup jika ia mampu menciptakan kebahagiaan moral dengan memenuhi sifat-sifat jiwa. Di antaranya adalah kedahagaan jiwa terhadap asupan ilmu. Selain itu, kendati jiwa mendapat banyak prinsip ilmu pengetahuan melalui indera, tetapi jiwa ini sendiri mempunyai prinsip lain serta tingkah laku yang lain pula, yang sama sekali bukan dari indera. Maka, kalau jiwa menilai bahwa antara dua ekstrim dari satu kontradiksi tak ada titik tengah, keputusan ini tidak diperolehnya melalui sesuatu yang lain. Karena, itu merupakan prinsip pertama dan tak akan demikian jika berasal dari sesuatu yang lain.
Ibn Miskwayh memandang bahwa ilmu akan menuntun manusia untuk tak hanya bergantung kepada hal yang bersifat materi. Selanjutnya akan membuat manusia memiliki kebijaksanaan dalam meniti hidup yang akhirnya menjadikannya sebagai manusia yang sempurna. Itulah salah satu sifat yang dimiliki oleh jiwa.
Dalam penjelasan berikutnya, ia menguraikan tentang jenis kebahagiaan dan sifat-sifat yang dimilikinya. Dalam pandangannnya, setiap manusia mampu mencapai setiap jenis kebahagiaan dengan cara memenuhi sifat-sifat kebahagiaan itu. Ada dua hal yang dapat mempengaruhi manusia dalam mencapai kebahagiaan itu, yaitu kondisi eskternal dan internal dirinya.
Kondisi internal yang mempengaruhi pemikiran dan arah moral seseorang adalah kesehatan tubuh dan bagaimana kemampuan dirinya mengendalikan temperamen. Sedangkan kondisi eskternal adalah keadaan yang terkait dengan hubungan dirinya dengan orang lain serta lingkungan di sekitarnya. Di dalamnya termasuk, teman sepergaulan, anak-anaknya dan kesejahteraan dirinya. Kedua kondisi inilah yang kemudian memperkaya jiwanya dalam mencapai kebahagiaan dirinya.
Sedangkan menurut al-Ghazâlî akhlak adalah keadaan batin yang menjadi sumber lahirnya suatu perbuatan di mana perbuatan itu lahir secara spontan, mudah, tanpa menghitung untung rugi. Orang yang berakhlak baik, ketika menjumpai orang lain yang perlu ditolong maka ia secara spontan menolongnya tanpa sempat memikirkan resiko. Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka. Selain itu, berdasarkan pandangan teologis, dia menolak gagasan kausalitas dalam tindakan etis. Dia tidak dapat membenarkan hubungan kausal antara sanksi dan pahala karena tidak bersifat rasional. Dari pemahaman dasar ini, dia menyatakan bahwa kebaikan dan kejahatan hanya dapat diketahui melalui wahyu dan menolak bahwa perintah-perintah Tuhan dalam al-Qur`ân memiliki tujuantertentu.
Akhlak seseorang, di samping bermodal pembawaan sejak lahir, juga dibentuk oleh lingkungan dan perjalanan hidupnya. Nilai-nilai akhlak Islam yang universal bersumber dari wahyu, disebut al-khayr, sementara nilai akhlak regional bersumber dari budaya setempat, di sebut al-ma`rûf, atau sesuatu yang secara umum diketahui masyarakat sebagai kebaikan dan kepatutan.
Sedangkan akhlak yang bersifat lahir disebut adab, tatakrama, sopan santun atau etika orang yang berakhlak baik secara spontan melakukan kebaikan, Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka.. Akhlak universal berlaku untuk seluruh manusia sepanjang zaman. Tetapi, sesuai dengan keragaman manusia, juga dikenal ada akhlak yang spesifik, misalnya akhlak anak kepada orang tua dan sebaliknya, akhlak murid kepada guru dan sebaliknya, akhlak pemimpin kepada yang dipimpin dan sebagainya.
Seseorang dapat menjadi pemimpin (al-imâm) dari orang banyak manakala ia memiliki (a) kelebihan dibanding yang lain, yang oleh karena itu ia bisa memberi (b) memiliki keberanian dalam memutuskan sesuatu, dan (c) memiliki kejelian dalam memandang masalah sehingga ia bisa bertindak arif bijaksana. Secara sosial seorang pemimpin adalah penguasa, karena ia memiliki otoritas dalam memutuskan sesuatu yang mengikat orang banyak yang dipimpinnya.  
Akan tetapi menurut etika keagamaan, seorang pemimpin pada hakekatnya adalah pelayan dari orang banyak yang dipimpinnya (sayyid al-qawmi khâdimuhum). Pemimpin yang akhlaknya rendah pada umumnya lebih menekankan dirinya sebagai penguasa, sementara pemimpin yang berakhlak baik lebih menekankan dirinya sebagai pelayan masyarakatnya.
Dampak dari keputusan seorang pemimpin akan sangat besar implikasinya pada rakyat yang dipimpin. Jika keputusannya tepat maka kebaikan akan merata kepada rakyatnya, tetapi jika keliru maka rakyat banyak akan menanggung derita karenanya. Oleh karena itu pemimpin yang baik disebut oleh Nabi dengan sebutan pemimpin yang adil (imâmun `âdil) sementara pemimpin yang buruk digambarkan al-Qur`ân, dan juga al-Hadîst, sebagai pemimpin yang zalim (imâmun zhâlim). Adil artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya, sedangkan sebaliknya zalim artinya menempatkansesuatutidakpada-tempatnya.
Kisah dalam al-Qur`ân yang menyebut Nabi (Raja) Sulaiman yang memperhatikan suara semut mengandung pelajaran bahwa betapa pun seseorang menjadi pemimpin besar dari negeri besar, tetapi ia tidak boleh melupakan kepada rakyat kecil yang dimisalkan semut itu (Q/27:16). Meneladani kepemimpinan Rasulullah, akhlak utama yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah keteladanan yang baik (uswatun hasanah), terutama dalam kehidupan pribadinya, seperti; hidup bersih, sederhana dan mengutamakan orang lain.Ini merupakan sebuah alasan yang menyatakan bahwa al-Ghazâlî dianggap sebagai seorang filsuf walaupun dia tidak suka disebut sebagai seorang filsuf.
Ø  ETIKA MENURUT YURIDIS
Hukum dalam pengertian peraturan perundang-undangan, maka tidak memberikan ruang secara eksplisit terhadap etika. Ruang eksplisit yang dimaksud adalah bunyi teks atau pasal-pasal yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Apakah dengan demikian etika tidak terdapat dalam peraturan perundang-undangan? Etika adalah norma. Etika dapat menjadi asas yang mendasari pengaturan dalam bahasa teks peraturan. Artinya etika sudah membaur atau dibaurkan dalam bunyi teks peraturan. Pembauran menempatkan etika menjadi ‘nyawa’ dari pasal per pasal yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
Dari perspektif demikian etika adalah meta yuridis. Etika bukan peraturan perundang-undangan, tetapi menjadi dasar dari bahasa teks peraturan perundang-undang. Peraturan perundang-undangan menjadi aktualisasi yuridis dari etika yang menjadi pedoman berperilaku. Aktualisasi yuridis atau positivisasi etika menjadi kaidah berperilaku yang berwatak yuridis. Tanpa positivisasi etika yang semula hanya norma perilaku, etika tidak akan dapat ditegakkan dengan menggunakan sanksi hukum.
Etika yang bertransformasi menjadi kaidah hukum baru merupakan hukum dalam peraturan perundang-undangan. Transformasi melalui positivisasi meletakkan etika menjadi hukum. Tetapi tidak berarti etika an sich merupakan hukum. Etika menjadi hukum (baca: peraturan perundang-undangan) ketika ditempatkan dalam bunyi pasal atau menginspirasi pembentukan pasal tersebut. Kemudian pertanyaan yang diajukan adalah apakah etika sama dengan hukum?
Etika tidak selalu sama dengan hukum. Etika bisa tetap sebagai etika ketika etika tidak mengalami positivisasi untuk menjadi teks peraturan perundang-undangan. Etika mengalami transformasi menjadi peraturan perundang-undangan, apabila pembentuk undang-undang (DPR dan hakim) menempatkan etika menjadi bunyi teks atau dimuat dalam putusan hakim. Dalam hal ini positivisasi etika dapat dilakukan menjadi dua, yaitu melalui proses legislasi di legislative dan eksekutif dan melalui pembentukan hukum oleh hakim.
Pembentukan hukum oleh hakim dilakukan melalui penemuan hukum dengan mempertimbangkan faktor non yuridis dalam menerapkan hukum. Faktor non yuridis ini tersebar pada norma berperilaku di masyarakat yang teraktualisasi dalam kode etik, best practice, adat istiadat atau konvensi. Kemudian oleh hakim, faktor non yuridis mengalami positivisasi yang menjadi bagian dari pertimbangan hukum hakim (legal reasoning) dalam mengadili kasus tertentu. Pertimbangan hukum inilah yang mengantarkan hakim dalam membuat suatu putusan dan menjadikan faktor non yuridis menjadi hukum.
Dengan demikian bahwa pernyataan etika adalah hukum, perlu meninjau kembali sudut pandang yang digunakan. Sudut pandang dipengaruhi oleh pemahaman atas pengertian hukum yang terdiri dari hukum tertulis dan tidak tertulis. Apabila memaknai hukum hanya sebagai hukum yang tertulis yaitu peraturan perundang-undangan maka etika bukanlah hukum. Etika dapat menjadi hukum harus dilakukan dengan mempositivisasi etika tersebut dalam peraturan perundang-undangan.
Namun dengan menggunakan pengertian hukum yang luas, dengan menempatkan hukum tidak hanya peraturan perundang-undangan maka etika dapat dikategorikan menjadi hukum. Etika adalah hukum yang tidak tertulis. ‘Tidak tertulis’ disini tidak dimaksudkan bahwa ruang lingkup etika tidak harus tidak tertulis, karena etika seperti kode etik (code of conduct) adalah tertulis. ‘Tidak tertulis’ maksudnya adalah bukan bagian dari peraturan perundang-undangan.
Ø  IMPLEMENTASI
KEHIDUPAN AGAMA, FILSAFAT, YURIDIS,
Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak. Tindakan manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam norma, diantaranya norma hukum, norma moral, norma agama dan norma sopan santun. Norma hukum berasal dari hukum dan perundang-undangan, norma agama berasal dari agama, norma moral berasal dari suara hati dan norma sopan santun berasal dari kehidupan sehari-hari.
Etika bukan sumber tambahan moralitas melainkan merupakan filsafat yang mereflesikan ajaran moral. Etika tidak dapat menggantikan agama. Agama merupakan hal yang tepat untuk memberikan orientasi moral. Pemeluk agama menemukan orientasi dasar kehidupan dalam agamanya. Akan tetapi agama itu memerlukan ketrampilan etika agar dapat memberikan orientasi, bukan sekadar indoktrinasi.
Dalam hubungan beragama ada istilah tri hita karana,
Hubungan ketiga unsur tri hita karana yang dimaksud adalah hubungan manusia dengan Tuhan Sang Pencipta, hubungan antara manusia dengan manusia, dan hubungan antara manusia dengan lingkungan.dalam terminalogi masyarakat HINDU diwujudkan dalam 3 unsur, yaitu : parahyangan, pawongan, dan palemahan.
  • Parhyangan berasal dari kata”hyang” yang berarti Tuhan. Parhyangan berarti ketuhanan atau hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan (baca : agama hindu) dalam rangka memuja Hyang Widhi. Hyang Widhi adalah Maha Pencipta (Prima Causa). Beliau adalah sumber dari pada segala yang ada. Beliaulah mengadakan alam semesta ini beserta isinya. Beliau adalah asal dan tujuan akhir dari kehidupan.
  • Palemahan berasal dari kata” lemah” yang berarti tanah. Palemahan juga berarti bhuwana atau alam dan dalam artian yang sempit palemahan berarti wilayah suatu pemukiman atau tempat tinggal.
  • Pawongan berasal dari kata”wong”(dalam bahasa jawa ) yang berarti orang. Pawongan berarti prihal yang berkaitan dengan orang-orang atau keorangan dalam suatu kehidupan masyarakat (community).
Hubungan Tri Hita Karana dengan Etika Agama
Dalam kehidupan sehari-hari maupun kehidupan beragama Tri Hita Karana memiliki peranan penting dalam pembelajaran Etika Agama itu. Nilai-nilai dan ajaran dalam Tri Hita Karana dapat dijadikan dasar atau pedoman dalam melaksanakan Etika Agama itu sendiri.
Dalam menimplementasikan konsep Tri Hita Karana haruslah secara utuh tidak ada yang paling istimewa dari ketiganya, dia senantiasa seimbang dalam pemikiran, seimbang dalam ucapan dan seimbang pula dalam segala tindakan. Sebagai konsep keharmonisan, Tri Hita Karana telah memberikan apresiasi yang luar biasa dari berbagai masyarakat dunia. Unsur parahyangan dalam menjaga keharmonisan dengan Ida Sang Hyang Widhi diwujudkan dalam berbagai bentuk aktivitas yadnya sebagai persembahan yang tulus kepada Sang Pencipta. Mulai dari pembangunan tempat suci, pelaksanaan upacara keagamaan, pendalaman ajaran agama, kreativitas berkesenian (tari, tabuh, lukis, pahat, dsb.) untuk kepentingan ritual. Dalam ranah pawongan, masyarakat Hindu dengan konsep manyamabraya, paras-paros sarpanaya, salunglung sabayantaka, dan Tat Twam Asi yang mendasarinya semakin mempertegas eksistensi masyarakat Hindu yang ramah-tamah. Lebihlebih lagi sesuai ajaran Hindu yang sangat yakin terhadap Hukum Karma Phala membuat kita semakin aman, damai, dan tenteram. Selanjutnya dalam tataran palemahan, perhatian masyarakat Hindu terhadap lingkungannya sudah tidak dapat diragukan lagi. Dalam agama hindu ada namanya hari raya Tumpek Pengarah untuk tumbuh-tumbuhan, Tumpek Kandang untuk segala macam ternak, Tumpek Landep untuk segala macam perabotan (senjata) sebagai sarana-prasarana mencari kehidupan, Nyepi untuk keharmonisan jagat raya, dan lain sebagainya.
Peranan Tri Hita Karana kaitannya dengan Etika Agama :
  1. Parhyangan diwujudkan dalam bentuk aktivitas keagamaan dalam rangka memuja dan berbakti kepada Hyang Widhi. Terutama sekali adalah sarana tempat memuja adalah sanggah/merajan, pura.
  2. Palemahan yang diwujudkan dalam bentuk wilayah atau teritorial meliputi : tempat tinggal, sawah, tegal, pasar, sekolah, instansi, tempat bekerja. Bhuwana Agung ciptaan Sang Hyang Widhi yang sangat berguna bagi kehidupan manusia.
  3. Pawongan diwujudkan dalam bentuk manusia, keluarga, masyarakat, dan warga. Terutama sesama manusia melalui suatu hubungan komunikasi yang harmonis misalnya :
  • Saling memberi dan menerima
  • Saling menghargai dan menghormati
  • Saling asah asih asuh
  • Saling maaf memaafkan
  • Dan lain-lain, siap pengamalan konsep pawongan Jadi, peranana Tri Hita Karana dalam Penerapan Etika Agama dalam kehidupan sehari-hari sangatlah penting agar terciptanya kehidupan yang harmonis, selaras dan seimbang untuk kita umat beragama, sesama manusia dan seluruh alam semesta.
  1. Hubungan Etika dengan Hati Nurani
Hati nurani merupakan suara hati manusia yang paling dalam. Setiap manusia memiliki hati nurani. Dengan adanya hal tersebut maka dapat melandasi setiap tindakan konkrit pada manusia. Hati nurani juga mempengaruhi kesadaran manusia. Kesadaran manusia mampu menilai bagaimana hati nurani berperan di masa lalu dan di masa depan. Bagaimana perlakuan manusia pada masa lampau atau masa depan. Apakah baik ataukah buruk.
Dalam sifat diri manusia bisa dibagi menjadi dua yaitu ego dan hati nurani. Hati nurani juga bisa menjadi relfleksi dari kehidupan manusia. Yang dimaksud refleksi disini adalah apakah manusia tersebut memakai hati nuraninya atau tidak. Manusia yang memakai hati nurani dalam kehidupannya akan merasa tentram dan tidak akan ada rasa dikejar-kejar oleh perasaan takut bersalah, tidak bisa, takut mendominasi, atau tidak ingin terlibat dengan kata lain hanya mementingkan diri sendiri. Ego merupakan sikap mementingkan diri sendiri tersebut. Mereka hanya menginginkan keuntungan dan kepentingan pribadinya terpenuhi dibandingkan dengan keuntungan dan kepentingan sesama. Mereka terbawa dengan arus ego mereka. Orang yang telah terbawa arus ego mereka akan bertindak karena terpaksa dan merasa dikejar-kejar oleh perasaan takut apabila bekerja untuk kepentingan bersama.
Etika mempelajari kita agar dapat bertindak sesuai dengan norma-norma yang dapat diterima oleh masyarakat. Dengan adanya hati nurani akan membuat seseorang bertindak sesuai kaidah atau norma etika.
2.      Hubungan Etika dengan Kebebasan Bertanggung Jawab
“lempar batu sembunyi tangan.”
Itulah peribahasa yang sering didengar. Peribahasa tersebut menggambarkan seseorang yang bertindak namun melepas tugasnya atau tanggung jawabnya untuk menyelesaikan suatu masalah.
Kebebasan itu sangat diperlukan karena dapat membuat orang merasa lebih hidup, senang, dapat berbuat sesuai dengan apa yang mereka inginkan, bebas berekspresi, dan lepas. Namun kebebasan tersebut harus diikuti dengan tanggung jawab dalam prakteknya. Dengan adanya kebebasan yang bertanggung jawab lingkungan baik di kelurga, sekolah, universitas, masyarakat, pemerintah, bangsa dan Negara menjadi aman dan tertib.
3.      Hubungan Etika dengan Nilai dan Norma
Nilai adalah suatu yang memiliki arti atau harga. Sedangkan norma adalah peraturan dasar yang mengatur kehidupan masyarakat. Nilai dan Norma sangat penting untuk membentuk suatu etika. Dengan adanya nilai dan norma yang merupakan kelanjutan dari suatu budaya ini dapat membuat lingkungan yang menganut nilai dan norma tersebut bertindak sesuai dengan apa yang telah diatur. Dengan kata lain dapat bertindak sesuai etika yang berlaku dalam lingkungan masyarakat.
Dalam kaitannya antara etika dengan nilai dan norma, sangat berdasar pada dua sifat mendasar yaitu sifat positif dan sifat negatif. Orang yang cenderung bersikap positif akan mendapatkan esensi-esensi atau nilai yang bermanfaat dari apa yang telah ia jalani. Sedangkan orang yang cenderung bersigfat negative akan mendapatkan sanksi-sanksi dari norma yang telah dibuat.
4.      Hubungan Etika dengan Hak dan Kewajiban
Hak adalah segala sesuatu yang harus kita dapat dan miliki. Sedangkan kewajiban adalah segala sesuatu yang harus dijalankan. Dalam kehidupan, haruslah menuntut adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Dengan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban maka akan tercipta suatu timbal balik yang baik dan tidak berat sebelah antara pihak yang menuntut haknya dengan pihak yang menuntut kewajibannya.
Pentingnya Etika dalam Kehidupan Sehari-hari dan Kehidupan Ilmiah
Ada beberapa alas an mengapa etika masih dibutuhkan di saat ini. pertama, pandangan-pandangan moral yang beraneka ragam yang berasal dari berbagai suku, kelompok, daerah, dan agama yang berbeda dan yang hidup berdampingan dalam suatu masyarakat dan Negara. Kedua, modernisasi dan kemajuan teknologi membawa perubahan besar dalam struktur masyarakat yang akibatnya dapat bertentangan dengan pandangan-pandangan moral tradisional. Ketiga, munculnya berbagai ideology yang menawarkan diri sebagai penuntun kehidupan manusia dengan masing-masing ajarannya tentang kehidupan manusia.
Analisa UAN dikaitkan dengan Etika
UAN dikaitkan dengan etika sangat berkaitan dengan tingkah laku dari orang-orang yang terlibat di dalam kegiatan UAN. orang-orang yang terlibat di dalam UAN seperti pemerintah, panitia pembuat soal UAN, distributor soal UAN, guru, “tim sukses”, dan peserta UAN (siswa).
Dalam pelaksanaan sering kali melanggar etika-etika, ketentuan-ketentuan, dan peraturan-peraturan yang ada dalam UAN tersebut. Misalnya, terdapat tindakan-tindakan pelanggaran terhadap peraturan pelaksanaan UAN itu sendiri. Telah ditemukan sebanyak 37 kasus kecurangan dalam pelaksanaan UAN1).
Pemerintah dalam menjalankan Ujian Akhir Nasional terkesan memberikan uji coba kepada para pelaku pendidikan. Dalam pelaksanaannya, pemerintah selalu menaikkan standar nilai kelulusan UAN. Dengan standar UAN yang selalu meninggi tiap tahunnya akan memberikan reaksi-reaksi oleh masyarakat. Pemerintah memiliki kewajiban untuk bersikap terbuka kepada masyarakat. Namun, pada pelaksanaanya, masyarakat hanya menerima apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui undang-undang walaupun masyarakat telah mengaspirasikan opini mereka kepada masyarakat. Kebijakan pemerintah terhadap publik terkesan tergesa-gesa, reaktif, dan tidak transparan dalam penetapan Undang-undang.
Terhadap pembuat soal UAN, mengapa soal-soal UAN harus dibedakan. Tujuan utama dari pembuatan soal UAN menjadi 2 yaitu soal A dan soal B memang dapat meminimalisir tindakan kecurangan seperti menyontek dalam kelas. Namun, apakah kalian semua sadar bahwa dengan adanya pembedaan soal UAN maka secara tidak langsung UAN belum menghargai keragaman. Indonesia memiliki keragaman yang sangat banyak. Keragaman itu bukan hanya dalam hal budaya, bahasa, dan SARA tetapi juga dari mutu pendidikan dari suatu daerah. Seharusnya, apabila pemerintah membuat soal-soal yang berbeda, mereka harus memperhatikan keragaman tersebut. Mereka seharusnya bisa membuat standar soal untuk daerah yang berbeda-beda.
Antara distributor soal UAN, tim sukses, guru, dan siswa sangat memiliki keterkaitan dalam pelaksanaan UAN. UAN merupakan dokumen negara yang sangat rahasia. Dalam pendistribusiannya ke sekolah-sekolah, seringkali ada pendistribusian yang sampai pada pihak yang salah. Terdapat distributor UAN yang mengirim soal-soal ke tangan tim sukses. Tim sukses sendiri berusaha menjawab soal-soal tersebut. Setelah tim sukses telah berhasil menjawab soal-soal UAN maka jawaban soal-soal tersebut dikirimkan ke pihak-pihak yang memintanya. Dalam hal ini adalah guru dan siswa. Guru-guru rela menjatuhkan martabatnya hanya untuk menjaga nama baik sekolahannya sehingga mereka seringkali melakukan tindakan kecurangan dalam UAN. Seperti, memberikan jawaban kepada siswan-siswinya dan membetulkan jawaban-jawaban siswa-siswinya.

1 comment :

  1. terima kasih banyak artikel nya . sangat inspiratif banget kali ini saya mulai memahami agama adalah sumber moral yang paling utama

    ReplyDelete